Book for Breakfast : The Reader
Hola, Paradiso! It's been a while, I know, hehe.
Selama liburan ini, saya banyak membaca! Hore! Terima kasih banyak pada aplikasi GO-BOOK di handphone saya (yang saya kasih nama Senorita --hahaha penting banget Ver), yang membuat saya nyaman membaca e-book, terutama dalam format e-pub. Karena dompet saya hilang di Bogor (well, story for later...), saya jadi nggak punya duit buat beli buku baru dan akhirnya saya pun berpaling pada e-book yang sudah lama dikacangin di handphone saya.
Saya jadi ingat masa lalu, zaman ayah saya masih suka beliin saya buku (kalau sekarang buku sudah termasuk pengeluaran rekreasi bulanan dari kocek saya sendiri, huhu). Supaya kegiatan membaca menjadi lebih produktif, ayah dan ibu saya mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan saya mengetik resensi dari buku yang baru saja dibeli. Sampai resensi itu selesai, nggak bakal dibeliin buku baru, walaupun saya ngemis-ngemis sambil ngelapin kaca mobil (oke, lebay). Untuk beberapa lama peraturan ini berjalan, tapi kemudian berhenti, nggak tahu kenapa. Mungkin karena ayah dan ibu saya juga males baca resensi yang udah saya buat, hahaha.
Saya inget, bikin resensi itu kegiatan yang paling bikin males saat itu. Namun manfaatnya terasa juga, saya jadi bisa mengkritisi buku (itu juga kalau ada yang mau saya kritisi, haha), saya juga bisa memetakan kembali apa saja yang saya pikirkan saat membaca buku itu, mulai dari penokohan, pesan moral, sampai random things yang tiba-tiba kepikiran. Kalau dipikir-pikir....eh, asyik juga ya.
Terus saya inget (lagi) bahwa saya ternyata punya lho sarananya! Saya punya akun Goodreads, jejaring sosial paling intelek dan menunjang bibliofilia, tapi anehnya saya biarin lumutan. Bahkan lebih lumutan daripada blog ini, haha. Sooo...saya akan kembali menghidupkan kegiatan resensi buku di masa lalu, sekalian mengerik lumut di Goodreads juga. Dengan demikian, saya bisa dengan bangga menunjukkan bahwa , "ini yang gue baca, di otak ada bekasnya lho, haha."
The Reader: Sang Juru Baca by Bernhard Schlink
My rating: 4 of 5 stars
Novel ini bercerita mengenai Michael Berg, seorang remaja 15 tahun, yang menjalin hubungan terlarang dengan Hanna Schmitz, seorang wanita yang dari segi usia pantas menjadi ibunya. Setelah beberapa lama menjalin hubungan, Hanna meninggalkan Michael, membiarkan Michael hidup dengan sisa-sisa kenangan mengenai dirinya. Saat berikutnya Michael menemukan Hanna kembali, dia telah menjadi seorang mahasiswa ilmu hukum dan Hanna adalah seorang terdakwa penjahat perang dalam proses pengadilan yang sedang dipelajari oleh Michael. Michael pun perlahan-lahan mengenal sosok sebenarnya wanita yang pernah intim dengannya bertahun-tahun lalu sambil bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan moral yang tak habis-habis; tentang perang, tanggung jawab, dan cinta.
Pertama kali tergoda untuk membaca buku ini, jujur saja, karena saya tahu filmnya dibintangi oleh Kate Winslet. Semenjak Titanic, Kate Winslet sudah menjadi semacam jaminan mutu buat saya, saya yakin dia nggak akan mau main film yang abal-abal begitu saja. Apa lagi ceritanya menyangkut Perang Dunia II dan saya tertarik pada sejarah masa itu. Sayang, dengar-dengar filmnya terlalu 'dewasa' untuk saya waktu itu. Walaupun sekarang saya sudah cukup umur untuk menonton film-film dengan konten seksual eksplisit, I'd like to keep my eyes innocent, thank you very much. So I don't watch the movie, and I turn to the book instead.
Novel ini bisa dibagi menjadi dua bagian : yaitu ketika Michael (yang juga menjadi narator untuk cerita ini) berusia 15 tahun, serta ketika Michael telah menjadi mahasiswa hukum. Penuturannya dewasa, saya sampai nggak sadar bahwa saya (ceritanya) sedang membaca penuturan seorang remaja berusia 15 tahun. Hanna digambarkan dengan begitu 'muda', sampai saya juga lupa bahwa sebenarnya usia Hanna pada saat itu 36 tahun. Mungkin memang seperti itu maksud Bernhard Schlink saat menuliskannya : Michael sebagai seorang remaja dengan pemikiran yang terlalu dewasa dan Hanna yang berjiwa ';muda', setidaknya di mata Michael. Cerita ini menjadi kurang 'kontroversial' seiring dengan bertambahnya halaman yang saya baca. Michael bukan lagi remaja dengan Oedipus Complex dan Hanna bukan lagi 'tante-tante yang doyan berondong' (persepsi awal saya saat tahu jalan ceritanya, haha). Michael menjadi seorang lelaki yang berusaha memahami Hanna, dan Hanna menjadi seorang kekasih yang ingin dimengerti, namun pada saat yang sama menyimpan rahasia kelam yang ia tidak ingin Michael ketahui.
Bertahun-tahun kemudian, setelah Hanna meninggalkan Michael secara tiba-tiba, sepasang kekasih ini bertemu lagi. Namun sekarang Michael adalah mahasiswa ilmu hukum sementara Hanna adalah terdakwa atas kejahatan perang. Saat membaca bagian ini, saya merasakan benar pergulatan pemikiran dan perasaan Michael. Wanita yang telah meninggalkan bekas begitu dalam pada hidupnya ternyata mantan Nazi! Michael termasuk kepada generasi pascaperang yang menyalahkan generasi sebelumnya karena telah mencetuskan perang, atau paling tidak membiarkan perang terjadi. Dia seakan melupakan bahwa Hanna adalah bagian dari yang disebutnya sebagai 'generasi sebelumnya' itu, dan bukan hanya itu, Hanna bahkan berperan dalam melenyapkan banyak nyawa dalam perang itu. Michael tidak langsung membenci Hanna, tentu tidak semudah itu. Dia yakin Hanna punya alasan-alasannya, yakin bahwa Hanna tidak seratus persen jahat seperti stereotype orang-orang terhadap mantan Nazi. Michael pun menyaksikan proses pengadilan, menempuh perjalanan, melakukan pembicaraan...segalanya demi mengenal wanita yang pernah dan selalu akan terlibat erat dengan hidupnya.
Untuk mendeskripsikan cerita ini, saya hanya punya satu kata : intens. Di sepanjang cerita, saya dibuat bingung, jatuh cinta, dan benci secara bergantian pada tokoh-tokohnya. Terutama pada tokoh Hanna, yang sampai tinta penghabisan tetap merupakan sebuah enigma besar. Saya kagum pada betapa tokoh-tokohnya terasa benar adalah manusia yang punya nyawa, lengkap dengan pemikiran unik dan alasan sendiri-sendiri untuk perilakunya yang mungkin tak segampang itu untuk dipahami manusia lainnya. Cerita ini mengingatkan kita untuk tidak asal menjatuhkan penilaian pada seseorang. Who are we to judge? Kita hanya makhluk yang tidak tahu apa-apa, bahkan tidak juga tentang kebenaran. Ya, saya yakin bahwa kebenaran sejati yang tetap itu ada, tapi otak manusia kita yang seadanya ini cuma mampu meraba-raba.
Pada intinya, The Reader merupakan karya yang kompleks, dalam, misterius, dan menggoda saya untuk tetap duduk membaca hingga saya membalik lembarannya yang terakhir. Highly recommended, especially for those who want to spend their evening reading good books and thinking about morality.
Cheers, have a good day, and may you read (or write) a great book today!
Hochachtungsvoll,
deine Vera
Comments
Post a Comment