Penghujung
Harusnya saat ini saya tekun berkutat dengan laporan inventori, tapi... I DON'T KNOW, MAYBE I HAVE ATTENTION DEFICIT DISORDER... well... yah... nggak juga. Saya akan dipecat dari status mahasiswa oleh dosen neuropsikologi kalau saya bilang ini adalah simptom ADD. Mungkin sebenarnya saya sedang jenuh, butuh katarsis atau curhat terselubung, atau saya terjebak (lagi) di dalam perangkap prokrastinasi, atau mungkin ketiganya. Intinya, saya memilih bikin cerpen sebagai displacement dari impuls-impuls saya yang tidak tersalurkan.
Ini saya ngomong apa sih, malah rambling soal konsep Freud -,-
Anyways, di bawah ini adalah cerpen hasil so-called prokrastinasi produktif saya hari ini. Please do enjoy!
Penghujung
a fic by Vera F. Maharani
Waktu
berjalan dengan lajunya yang tidak kita pahami. Tahu-tahu sekarang kita sudah
duduk bersisian di sini, di sebuah bangku taman yang biasa kita kunjungi jika
kantuk enggan menghampiri. Kamu dalam balutan kaus lengan panjang abu-abu
dan celana training yang sudah aku hapal dalam tiga tahun terakhir ini, dan aku
dalam piyama oranye motif kelinci yang dulu pernah kamu bilang lucu.
Ah,
tapi kamu tentu sudah tidak ingat bahwa kamu pernah berkata piyama ini lucu,
jadi buat apa masih kuingat itu. Buktinya saat kamu melihatku, kamu tak
berkomentar apa pun. Kamu hanya menyapa singkat, “Hai, Chiara."
“Halo,
Chandra.”
Kamu
membiarkan derik-derik jangkrik mengisi beberapa jengkal kekosongan di antara
kita. Memang, sudah lewat waktunya di mana kamu khawatir melihat seorang gadis
berkeliaran di taman kompleks malam-malam, bukannya bergelung nyaman dalam
lindungan dinding kamar. Sekarang bukan hal yang aneh lagi untuk menemukan aku
duduk di sini, melamun diterpa angin, hingga akhirnya dini hari datang dan kita
menyerah untuk tidur. Tapi aku agak kangen rentetan kecemasanmu dulu itu, tahu.
Agak.
Karena aku tidak mau malam ini berlalu dalam diam, aku
pun bertanya, “Apa kabarmu hari ini?”
Kamu menundukkan kepala sedikit, lalu menjawab, “Baik.”
Baik? Syukurlah. Aku senang kamu baik-baik saja. Tapi
tidak adakah kata-kata lain yang lebih panjang dari ‘baik’? Aku tidak
akan puas kalau hanya sepotong kata itu yang kamu bagi denganku malam ini, jadi
aku mengejar, “Serius? Terus kenapa kamu susah tidur kalau kabarmu baik?
Skripsi gimana? Keluarga? Keuangan?”
Kamu terkekeh. “Skripsi baik. Keluarga damai. Keuangan
stabil. Makasih.”
“So?”
“So, I am fine,
thank you.”
Aku mendengus. Kualihkan pandanganku pada lampu taman
yang dikerubuti laron, dan kucoba menyibukkan pikiranku dengan urusanku
sendiri. Tidak terlalu berhasil, karena kebanyakan urusanku menyangkut kamu,
laki-laki tampan yang sedang gemar membisu.
“Chia…”
“Ya?” aku menyahut dengan memanjangkan satu suku kata itu,
berusaha tidak terdengar terlalu bersemangat.
“Sejauh mana kamu akan berlari mengejar apa yang kamu
mau?”
Aku tertegun. Saat aku menoleh, kulihat kamu sedang
menatapi lampu taman dan laron-laron yang tadi jadi pusat perhatianku. Ekspresi
wajahmu santai, bebas kerutan. Namun sesuatu dalam caramu bertanya
memberitahuku bahwa ini bukan pertanyaan yang bisa kujawab dengan canda.
“Well,” aku
bergumam sambil mengubah posisi dudukku. “Well…”
aku menggeliat lagi, hanya untuk kembali ke posisi dudukku semula. Sejauh mana kamu akan berlari mengejar apa
yang kamu mau? Saat ini apa yang aku mau berada begitu dekat…tapi aku tidak
bergerak. Aku menelan ludah, mengulur-ulur waktuku untuk menjawab pertanyaan
itu.
"Aku rasa…kita harus siap berlari sejauh apa pun untuk
meraih hal-hal yang kita cita-citakan, iya kan?” aku bertanya. Memastikan pada
dirimu, agar aku tahu apakah jawaban semacam ini yang kamu harapkan. Memastikan
pada diriku, agar aku yakin bahwa memang itulah yang akan aku lakukan, termasuk
dalam urusan yang menyangkut kamu.
“Iya…betul. Betul juga,” ucapmu, mungkin pada dirimu
sendiri. Bibirmu perlahan mengembangkan senyum. Nyala oranye lampu taman
terpantul pada hitam kosong pupilmu.
Aku melipat tangan di depan dada, pandanganku bolak-balik
pada kamu dan lampu taman itu. “Boleh aku tahu, dalam konteks apa kita bicara
seperti ini?”
Pertanyaanku itu seakan menarikmu kembali ke dunia nyata.
Kamu mengerjap, dan kesadaran kembali menghidupi mata itu. Kamu menoleh padaku,
dan kurasa untuk pertama kalinya malam ini, kamu sadar sepenuhnya bahwa kamu
sedang mengobrol denganku. “Aku memutuskan untuk apply beasiswa S2 yang kuceritakan tempo hari, Chia,” kamu
mengumumkan dengan raut wajah bangga. “Kalau semua berjalan lancar, aku akan
lulus tiga bulan lagi, lalu tiga bulan kemudian…ciao, Indonesia.”
“Oh…,” aku tersentak, dan udara langsung menyerbu
paru-paruku dalam satu tarikan nafas. Ini bukan kabar baru, memang. Tentu saja
aku tahu kamu dan obsesi belajar di Amerika-mu, karena masa depan merupakan
salah satu topik favorit dalam perbincangan malam kita. Namun saat ‘masa depan’
itu beringsut ke sini, dan kamu bersiap menghampiri…rasanya surreal. Kenyataan
menamparku dan tameng yang kupersiapkan hancur berkeping-keping.
Hembusan angin malam yang tiba-tiba mengembalikan akal
sehatku ke rongga kepala. “Itu keren banget, Chandra!” aku tersenyum selebar
mungkin. Aku meremas tanganku di depan dada, mencoba menunjukkan betapa
menggugahnya berita itu buatku. “Aku yakin kamu punya kesempatan besar untuk
diterima."
Tatapanmu melembut, sementara matamu menyempit menjadi
lengkungan ramah yang sesuai dengan namamu. Chandra, bulan. Dan kamu
memantulkan cahaya lampu taman dengan begitu sempurna, seakan-akan cahaya itu
milikmu sendiri. “Menurutmu begitu?” kamu bertanya, seperti masih perlu
diyakinkan.
Aku
mengangguk. Aku memang tidak selalu ada untuk melihat sepak
terjangmu, tapi dari perbincangan-perbincangan malam kita yang sporadis, aku
tahu kamu mahasiswa brilian. Cerdas, aktif, hangat, bahkan dengan insomnia yang
terkadang mengantarmu sampai ke bangku ini. Begitu mudah untuk menyimpulkan
bahwa kelak kamu tidak akan jadi orang biasa-biasa saja. Begitu mudah untuk
dicintai, juga…
“Hei,
Chandra,” aku menegur. Kamu menjawabku dengan gumaman. “Kamu apply beasiswa, itu berita bagus…terus
kenapa kamu masih tampak galau?”
“Aku?
Galau?” Kamu tertawa lagi, seakan-akan kedua kata itu sangat absurd untuk
dipadukan. “Aku mantap untuk pergi ke sana, Chia. Hanya saja, keputusan hidup
yang besar seperti ini rasanya agak mengguncang. Memacu semangat, ya, tapi
mengguncang juga.” Kamu meremas-remas tangan, namun bibirmu yang tersenyum
membuatmu tak terlihat seperti orang gugup. “Aku harus memperjelas rencana masa
depanku. Apa yang mau aku lakukan dengan hidupku? Kapan? Di mana? Begitu banyak
kemungkinan, begitu banyak keinginan! Dunia seperti dibuka begitu lebar, Chia.
Lebar sekali.”
Lalu
kamu pun menjelaskan, tangan-tanganmu bergerak tegas di hadapanmu. Di mana kamu
ingin berada lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi, dua puluh lima tahun lagi.
Kamu bercerita tentang daerah-daerah yang ingin kamu sambangi, perusahaan media
yang ingin kamu bangun, isu-isu sosial
yang ingin kamu selami. Aku menatapmu nanar, sementara yang menari di otakku
malah pikiran-pikiran paling cupet dan
egois. Di mana aku dalam rencana-rencanamu yang mencakar langit itu? Di mana
aku, Chandra, adakah tempat untukku di dalamnya?
Siapa aku hingga bisa bertanya seperti itu?
Aku bahkan tidak tahu apa aku bisa dibilang sahabatmu. Aku hanya sesama
pengidap insomnia yang bersilangan jalan denganmu tiga tahun lalu, saat kita
sedang mencari kantuk. Kita hanya dua orang yang menjadikan bangku taman ini
sebagai tempat melamun favorit, dan karena tidak ada di antara kita yang mau
mengalah untuk mencari tempat lain, kita memutuskan bahwa lebih baik jika kita
saling bicara. Ya, kamu bercerita tentang hidupmu padaku, dan aku padamu. Tapi
aku tahu aku tidak sepenting itu bagimu…
Sementara
kamu bercerita, terbersit dalam pikiranku bahwa aku ingin pergi bersamamu,
Chandra. Aku ingin duduk di sini pada suatu malam, tersenyum padamu yang
berjalan mendekat, lalu berkata, “Surprise!
Aku akan pergi ke Amerika juga.” Tapi itu hanya angan-angan kosong. Aku
tidak akan pergi ke Amerika. In fact, aku
tidak akan pergi ke mana-mana. Terlalu banyak sulur-sulur mengikatku,
menghalangiku pergi. Aku tidak bebas dan mampu sepertimu. Kau ditakdirkan untuk
terbang. Sementara aku akan tetap di sini, mengakar dan lapuk.
Aku
bisa membayangkan aku duduk di sini, untuk entah berapa malam lagi, dengan atau
tanpa insomnia. Piyama oranyeku, piyama yang dulu pernah kau bilang lucu, masih
kupakai sebagai favoritku. Sementara kamu…mudah bagimu untuk menemukan sesama
pengidap insomnia lain, berjalan tak tentu, menyusuri malam di salah satu taman
kota tempatmu tinggal nanti. New York, Boston, Chicago…entahlah. Kalian akan berbagi
bangku. Kalian akan berbicara. Sementara aku di sini menatapi angin yang
bergulung menjadi citra wajahmu, di sudut hatimu sana aku telah terganti
sempurna.
Aku
kuyup oleh dingin, sementara kamu terlalu terserap dalam impianmu yang hampir
menjelma nyata. Kurasa kamu tidak sadar aku di sebelahmu mengerut, dikikis
kecemasan yang bertubi-tubi.
“Ini
semua…tentu saja kalau semuanya berjalan lancar, Chia,” kamu meringis di akhir
ceritamu. Kamu menghenyakkan punggungmu ke sandaran kayu, posisi tubuhmu
menggelosor. Kamu menengadah dan aku mengikutimu, mengamat-amati, siapa tahu
aku bisa melihat imaji yang sama denganmu di balik kabut cahaya lampu kota yang
menyelubungi langit berbintang.
“Aku
akan berdoa buatmu, Chandra,” aku berbisik. “Semuanya akan lancar,” tambahku,
walau aku pun tidak tahu apa yang kumaksud dengan ‘lancar’. Biar Tuhan yang
mendefinisikannya untukku…
“Makasih,
Chia, kamu baik sekali. Tapi sudah cukup tentang aku. Kamu bagaimana?”
“Bagaimana…,”
kata tanya itu melayang-layang seperti bulu yang dibuai angin. Aku menatapmu,
mencermati binar matamu dan caramu mengangkat alis. Menyimpan baik-baik bagaimana
bibirmu sedikit terbuka, bagaimana tubuhmu kau condongkan padaku, seakan
benar-benar ingin tahu. Seakan-akan masa depanku memang semenarik itu bagimu.
“Iya,
bagaimana,” kamu mengulangi. “Rencana
masa depanmu. Apa yang ingin kamu lakukan dengan hidup?”
Mengejarmu. Kurasa aku ingin
mengejarmu…agar aku bisa berlari bersamamu. Dan sementara itu…biarlah aku menghitung
waktu dalam satuan detik yang kuhabiskan bersamamu.
Aku
melipat tangan di depan dada dan menelan ludah. Kubiarkan kamu melebarkan mata
dan mengangkat alis lebih tinggi, mendorongku bicara. Aku pun tersenyum, dan
akhirnya bicara.
“Chandra...aku akan menikmati hidup.”
And if all of our days are numbered
Then why do I keep counting?
Terinspirasi dari kisah seorang teman saya yang tak akan saya sebut namanya walaupun ditawarin candle light dinner oleh Nicholas Saputra...no, wait, saya bakal ngasih tau dengan senang hati kalau iming-imingnya candle light dinner bersama Nicholas Saputra.
Terima kasih, hai kau sang teman yang lebih baik tak disebut namanya! Maaf karena telah mengambil keuntungan dari curhat-curhatmu; main comot ide sana-sini, main gunting sana-sini, seenak-enaknya saya. I pray all the best for you, always.
*kabur untuk kembali ngerjain inventori*
source gambar : http://images.colourbox.com/thumb_COLOURBOX1926879.jpg
Indah Ver :') endingnya enak dan pas :)
ReplyDeleteAwww Aliiin...dibaca beneran :') thank you very much :)
ReplyDelete