"Metropolis" by Fritz Lang : Opening Movie of JermanFest 2015
Akhirnya, setelah tahun kemarin gagal ikutan Jermanfest 2014 gara-gara bentrok sama liburan di Bali, Rabu kemarin (9 September 2015) bisa ikutan juga. Opening movie kali ini adalah “Metropolis”, film bisu karya Fritz Lang yang dirilis tahun 1927. Pemutaran film ini diiringi secara live oleh Babelsberg Orchestra. Setelah main di Jakarta dan Surabaya, orkestra ini mampir juga di Bandung.
Tadinya sempat mikir saya bakal nonton film ini sendirian (which is fine by me). Maksudnya, sepintas kan film ini hanya menarik untuk kalangan terbatas. Film bisu, intertitle-nya bahasa Jerman, ada orkestra segala. Hal-hal yang bikin banyak orang kabur tapi malah bikin saya merapat, hahaha. Apa lagi ketika saya tahu bahwa event ini gratis, for me the decision to watch this was a no-brainer. Tapi namanya juga usaha kan ya, saya tetap ngajak teman-teman di berbagai grup Line dan Whatsapp buat nonton bareng. Tak dinyana, ada juga yang terhasut. Saya akhirnya janjian nonton bareng sama Sharleen, teman zaman kursus Goethe dulusampai Goethe menghapus kelas Sabtu level saya karena kurang peminat, huft
Sebelum sampai di aula barat ITB, tempat pemutaran film, saya nggak tahu sama sekali ini film tentang apa, hahaha. Cuma baca deskripsi supersingkat di web Jermanfest, yang bilang bahwa tema film ini “futuristik”. Penasaran kan, futuristik tapi vintage, berhubung rilisnya tahun 1927. Saya juga tahu dari tweet dan web Jermanfest bahwa ini adalah film termahal pada zamannya (sekitar 5.000.000 Reichsmark, jangan tanya berapa rupiah), dan genrenya science fiction, but that’s it. Menahan diri untuk googling terlalu banyak karena takut spoiler haha.
Film ini berlatarkan masa depan, di mana kelas birokrat dan pengusaha tinggal di menara-menara modern dan mewah di kota Metropolis, sementara kelas buruh tinggal di bawah tanah. Kelas buruh inilah yang menjalankan mesin-mesin untuk menyuplai energi di Metropolis dalam shift kerja 10 jam sehari. Sangat berbeda dengan orang-orang “permukaan” Metropolis yang punya banyak waktu luang dan hidupnya banyak bersenang-senang.
Protagonis utama kita, Freder (Gustav Fröhlich), adalah anak dari penguasa Metropolis, Joh Fredersen (Alfred Abel). Selayaknya anak-anak kaum permukaan Metropolis, Freder bergabung dengan Klub Para Putera (Clubs of The Sons), di mana para pemuda itu menghabiskan waktu dengan berfoya-foya. Suatu hari, saat Freder sedang menjalani hidup foya-foyanya, dia melihat Maria (Brigitte Helm), yang membawa sekumpulan anak-anak buruh ke Klub Para Putera. Maria menunjukkan pada anak-anak tersebut betapa berbedanya hidup “saudara-saudara” di permukaan tanah dengan hidup kaum buruh. Satpam-satpam Klub Para Putera buru-buru mengusir Maria. Freder yang jatuh cinta pada pandangan pertama mengikuti Maria tanpa pikir panjang.
Perjalanan mengikuti Maria ke Kota Pekerja di bawah tanah membuat Freder tersesat ke Ruang Mesin, tempat para buruh menjalani shift kerja sepuluh jam mereka. Salah satu buruh kecapekan dan pingsan, menyebabkan kecelakaan kerja besar yang menelan banyak korban. Freder sangat terguncang menyaksikan ini. Di mata Freder, pekerja-pekerja itu bagaikan budak-budak yang dikurbankan pada Moloch (dewa Kaum Kanaan dan Punisia yang dipuja dengan mengurbankankan anak-anak). Freder buru-buru berlari untuk protes pada ayahnya di Menara Babel baru.
Joh Fredersen, ayah Freder, baru saja menemukan peta-peta mencurigakan yang disita dari saku beberapa buruh. Dia curiga para buruh sedang merencanakan pemberontakan. Sebagai penguasa Metropolis dia tentu saja ingin mempertahankan status quo antara kaum permukaan dan kaum buruh di bawah tanah. Maka ketika Freder, yang selama ini disembunyikannya dari kepahitan dunia, lari padanya dan minta supaya dia memperhatikan kesejahteraan kaum buruh, dia makin khawatir. Dia meminta The Thin Man (semacam body guard dan spy Joh Fredersen, diperankan oleh Fritz Rasp) untuk memata-matai kegiatan Freder. Selanjutnya, dia pergi ke Rotwang (Rudolf Klein-Rogge), ilmuwan jenius, untuk memecahkan misteri peta-peta kaum buruh.
Ternyata Rotwang dan Joh Fredersen punya sejarah yang tidak mengenakkan. Joh Fredersen merebut Hel, pacar (istri?) Rotwang, yang kemudian meninggal saat melahirkan Freder. Sejak itu, Rotwang mendedikasikan waktunya untuk “membangkitkan” Hel dengan membuat robot wanita, Die Maschinenmensch. Ketika Joh Fredersen mengetahui ini, dia menyuruh Rotwang untuk menggunakan Die Maschinenmensch untuk memprovokasi dan menghancurkan kaum buruh. Rotwang menyanggupi…sambil diam-diam menyusun rencana untuk menghancurkan Joh Fredersen sekalian.
Satu kata aja habis nonton film ini : EPIC! Sense of grandeur dari set yang digunakan berasa banget, dan makin bikin berasa wow mengingat ini film dibuatnya sebelum tahun 1927. Tema yang diangkat, mulai dari kesenjangan kelas, revolusi, diwarnai kisah cinta dari dua strata sosial yang berbeda merupakan formula-formula yang masih relevan sampai masa kini. Banyak referensi ke mitologi dan Bible bertebaran, misalnya tentang kisah The Whore of Babylon dan menara Babel (bahkan pusat pemerintahan kota juga disebut New Town of Babel). Kebetulan banget nggak sih, yang mengiringi juga orkestra Babelsberg (oke ini tidak penting).
Awalnya sempat ketawa-tawa ngeliat ekspresi-ekspresi lebay para aktornya, juga gerakan-gerakannya terlampau gemulai macam penari, tapi lama-lama jadi sadar bahwa justru di situ letak kekuatannya. Karena nggak ada dialog yang kedengaran, musik dan ekspresi aktor harus klop banget biar penonton bisa terhubung sama karakter yang dimainkan.
Merasa beruntung banget bisa nonton film ini. Apa lagi setelah tahu bahwa film ini dulu sempat disensor, kemudian bagian-bagiannya hilang. Baru ditemukan lagi di Argentina pada tahun 2010 dalam keadaan rusak parah. Jadi versi yang saya tonton ini adalah hasil kerja keras restorasi film, hingga akhirnya bisa menampilkan kembali sekitar 95% dari karya aslinya. Beberapa scene yang tidak terselamatkan diganti dengan intertitle, tapi ini nggak mengganggu kenikmatan nonton secara keseluruhan. Mengingat film ini dibuat sebelum tahun 1927…makin kagum sama effort yang digunakan untuk membuat film ini. Ketika setelah itu saya nonton sinetron-sinetron dari sebuah stasiun televisi yang tidak akan saya sebutkan namanya, kerasa jomplang banget kualitasnya hahaha
Ini pengalaman pertama saya nonton orkestra live and….maaaaan, it was even more awesome than what I have imagined before! Kagum banget sama presisi dan grandeur dari Babelsberg Orchestra yang tampil kemarin. Apa lagi ini film panjaaang banget, 2,5 jam. Tadinya saya pikir cuma sekitar 1 jam, soalnya kalau lebih, gimana nggak gempor itu tangan, harus main instrumen dengan presisi tinggi untuk mengiringi scene film. Setelah film selesai, penonton di Aula Barat ITB pada standing applause buat para pemain orkestra ini. Asli keren. Pake banget. Kuadrat.
Saya dan Sharleen salah perhitungan banget mengenai satu hal : nggak nyangka durasi film bakal sepanjang itu! Tadinya kirain jam 8 juga udah bisa keluar terus makan malam di Warung Pasta, hahaha…. salah total. Akhirnya nontonnya sambil nahan lapar. Apa lagi di sebelah saya ada anak kecil yang pada sekitar jam 20.30 dibeliin hot dog sama bapaknya. Untung filmnya rame, jadi sebagian besar waktu saya nggak terlalu terganggu sama rasa lapar itu…kecuali pada waktu-waktu tertentu saat tercium wangi hot dog yang menggoda iman dari bangku sebelah.
Satu lagi yang bikin senang datang ke pemutaran Metropolis ini : FREEBIES! Saya terlalu cinta barang gratisan, hahaha. Brosur yang boleh diambil sebanyak-banyaknya juga dicetak dengan kualitas tinggi, jadi oke banget buat proyek kliping atau crafting yang lain. Pokoknya senang banget deh bisa datang ke sana.
Rangkaian acara selanjutnya bisa dilihat di situs Jermanfest
Suasana Aula Barat ITB sebelum pemutaran Metropolis (sorry for the low quality picture. I promise I will change my phone into something that has a better quality camera in the...er...far future) |
Tadinya sempat mikir saya bakal nonton film ini sendirian (which is fine by me). Maksudnya, sepintas kan film ini hanya menarik untuk kalangan terbatas. Film bisu, intertitle-nya bahasa Jerman, ada orkestra segala. Hal-hal yang bikin banyak orang kabur tapi malah bikin saya merapat, hahaha. Apa lagi ketika saya tahu bahwa event ini gratis, for me the decision to watch this was a no-brainer. Tapi namanya juga usaha kan ya, saya tetap ngajak teman-teman di berbagai grup Line dan Whatsapp buat nonton bareng. Tak dinyana, ada juga yang terhasut. Saya akhirnya janjian nonton bareng sama Sharleen, teman zaman kursus Goethe dulu
Sharleen dan Vera, setelah nyerah selfie berlatar panggung dan layar S; "Ya terserahlah, yang penting selfie!" |
Sebelum sampai di aula barat ITB, tempat pemutaran film, saya nggak tahu sama sekali ini film tentang apa, hahaha. Cuma baca deskripsi supersingkat di web Jermanfest, yang bilang bahwa tema film ini “futuristik”. Penasaran kan, futuristik tapi vintage, berhubung rilisnya tahun 1927. Saya juga tahu dari tweet dan web Jermanfest bahwa ini adalah film termahal pada zamannya (sekitar 5.000.000 Reichsmark, jangan tanya berapa rupiah), dan genrenya science fiction, but that’s it. Menahan diri untuk googling terlalu banyak karena takut spoiler haha.
Film ini berlatarkan masa depan, di mana kelas birokrat dan pengusaha tinggal di menara-menara modern dan mewah di kota Metropolis, sementara kelas buruh tinggal di bawah tanah. Kelas buruh inilah yang menjalankan mesin-mesin untuk menyuplai energi di Metropolis dalam shift kerja 10 jam sehari. Sangat berbeda dengan orang-orang “permukaan” Metropolis yang punya banyak waktu luang dan hidupnya banyak bersenang-senang.
New Town of Babel, pusat pemerintahan di Metropolis |
Freder saat pertama kali melihat Maria. Kesengsemnya kelihatan banget, sampai lupa sekitar. |
Perjalanan mengikuti Maria ke Kota Pekerja di bawah tanah membuat Freder tersesat ke Ruang Mesin, tempat para buruh menjalani shift kerja sepuluh jam mereka. Salah satu buruh kecapekan dan pingsan, menyebabkan kecelakaan kerja besar yang menelan banyak korban. Freder sangat terguncang menyaksikan ini. Di mata Freder, pekerja-pekerja itu bagaikan budak-budak yang dikurbankan pada Moloch (dewa Kaum Kanaan dan Punisia yang dipuja dengan mengurbankankan anak-anak). Freder buru-buru berlari untuk protes pada ayahnya di Menara Babel baru.
Joh Fredersen, ayah Freder, baru saja menemukan peta-peta mencurigakan yang disita dari saku beberapa buruh. Dia curiga para buruh sedang merencanakan pemberontakan. Sebagai penguasa Metropolis dia tentu saja ingin mempertahankan status quo antara kaum permukaan dan kaum buruh di bawah tanah. Maka ketika Freder, yang selama ini disembunyikannya dari kepahitan dunia, lari padanya dan minta supaya dia memperhatikan kesejahteraan kaum buruh, dia makin khawatir. Dia meminta The Thin Man (semacam body guard dan spy Joh Fredersen, diperankan oleh Fritz Rasp) untuk memata-matai kegiatan Freder. Selanjutnya, dia pergi ke Rotwang (Rudolf Klein-Rogge), ilmuwan jenius, untuk memecahkan misteri peta-peta kaum buruh.
The Thin Man. This guy over here is the epitome of wajah antagonis |
Ternyata Rotwang dan Joh Fredersen punya sejarah yang tidak mengenakkan. Joh Fredersen merebut Hel, pacar (istri?) Rotwang, yang kemudian meninggal saat melahirkan Freder. Sejak itu, Rotwang mendedikasikan waktunya untuk “membangkitkan” Hel dengan membuat robot wanita, Die Maschinenmensch. Ketika Joh Fredersen mengetahui ini, dia menyuruh Rotwang untuk menggunakan Die Maschinenmensch untuk memprovokasi dan menghancurkan kaum buruh. Rotwang menyanggupi…sambil diam-diam menyusun rencana untuk menghancurkan Joh Fredersen sekalian.
Pesan moral : meminta tolong pada orang yang pacar/istrinya kamu rebut adalah sesuatu yang tolol. |
Satu kata aja habis nonton film ini : EPIC! Sense of grandeur dari set yang digunakan berasa banget, dan makin bikin berasa wow mengingat ini film dibuatnya sebelum tahun 1927. Tema yang diangkat, mulai dari kesenjangan kelas, revolusi, diwarnai kisah cinta dari dua strata sosial yang berbeda merupakan formula-formula yang masih relevan sampai masa kini. Banyak referensi ke mitologi dan Bible bertebaran, misalnya tentang kisah The Whore of Babylon dan menara Babel (bahkan pusat pemerintahan kota juga disebut New Town of Babel). Kebetulan banget nggak sih, yang mengiringi juga orkestra Babelsberg (oke ini tidak penting).
Awalnya sempat ketawa-tawa ngeliat ekspresi-ekspresi lebay para aktornya, juga gerakan-gerakannya terlampau gemulai macam penari, tapi lama-lama jadi sadar bahwa justru di situ letak kekuatannya. Karena nggak ada dialog yang kedengaran, musik dan ekspresi aktor harus klop banget biar penonton bisa terhubung sama karakter yang dimainkan.
Brigitte Helm sebagai Maria, merangkap die Maschinenmensch. The true star of the show! |
Merasa beruntung banget bisa nonton film ini. Apa lagi setelah tahu bahwa film ini dulu sempat disensor, kemudian bagian-bagiannya hilang. Baru ditemukan lagi di Argentina pada tahun 2010 dalam keadaan rusak parah. Jadi versi yang saya tonton ini adalah hasil kerja keras restorasi film, hingga akhirnya bisa menampilkan kembali sekitar 95% dari karya aslinya. Beberapa scene yang tidak terselamatkan diganti dengan intertitle, tapi ini nggak mengganggu kenikmatan nonton secara keseluruhan. Mengingat film ini dibuat sebelum tahun 1927…makin kagum sama effort yang digunakan untuk membuat film ini. Ketika setelah itu saya nonton sinetron-sinetron dari sebuah stasiun televisi yang tidak akan saya sebutkan namanya, kerasa jomplang banget kualitasnya hahaha
Ini pengalaman pertama saya nonton orkestra live and….maaaaan, it was even more awesome than what I have imagined before! Kagum banget sama presisi dan grandeur dari Babelsberg Orchestra yang tampil kemarin. Apa lagi ini film panjaaang banget, 2,5 jam. Tadinya saya pikir cuma sekitar 1 jam, soalnya kalau lebih, gimana nggak gempor itu tangan, harus main instrumen dengan presisi tinggi untuk mengiringi scene film. Setelah film selesai, penonton di Aula Barat ITB pada standing applause buat para pemain orkestra ini. Asli keren. Pake banget. Kuadrat.
Saya dan Sharleen salah perhitungan banget mengenai satu hal : nggak nyangka durasi film bakal sepanjang itu! Tadinya kirain jam 8 juga udah bisa keluar terus makan malam di Warung Pasta, hahaha…. salah total. Akhirnya nontonnya sambil nahan lapar. Apa lagi di sebelah saya ada anak kecil yang pada sekitar jam 20.30 dibeliin hot dog sama bapaknya. Untung filmnya rame, jadi sebagian besar waktu saya nggak terlalu terganggu sama rasa lapar itu…kecuali pada waktu-waktu tertentu saat tercium wangi hot dog yang menggoda iman dari bangku sebelah.
Satu lagi yang bikin senang datang ke pemutaran Metropolis ini : FREEBIES! Saya terlalu cinta barang gratisan, hahaha. Brosur yang boleh diambil sebanyak-banyaknya juga dicetak dengan kualitas tinggi, jadi oke banget buat proyek kliping atau crafting yang lain. Pokoknya senang banget deh bisa datang ke sana.
Rangkaian acara selanjutnya bisa dilihat di situs Jermanfest
Mittler zwischen Hirn und Händen muss das Herz sein!
Mediator between head and hands must be the heart!
Comments
Post a Comment