Lightbulb Moment : Orang Tua, Masa Depan, dan Penipuan
Dua hari ini, saya menginap di Antapani. Alhamdulillah, saya jadinya punya banyak quality time bersama Ibunda. Apa yang terjadi jika dua wanita berbeda generasi disatukan dalam beberapa hari? Well, nggak jauh-jauh dari ngobrol-ngobrol dan nostalgia. Dan nonton Indonesian Idol. Hahaha.
Di tengah-tengah sesi komentarin performa kontestan Indonesian Idol, Mama tiba-tiba membelokkan pembicaraan, "Kamu kan waktu kecil suka nyanyi-nyanyi gitu ya, Mbak. Kirain nanti gedenya bakal jadi artis, hahaha."
Saya, yang saat ini kemampuan olah vokalnya cuma sedikit di atas lumba-lumba radang amandel, cuma bisa tertawa miris. Bukan karena nyesel nggak jadi artis, tapi karena tersadar akan sesuatu. Ternyata selama dua puluh tahun saya hidup, saya sudah melakukan banyak penipuan terhadap orang tua saya. Yeah, penipuan berkaitan dengan akan jadi apa saya di masa depan.
Seperti yang mama saya katakan di masa lalu, saya waktu kecil suka nyanyi. Ada lantai yang sedikit aja lebih tinggi dibanding sekitarnya, langsung didaulat jadi panggung. Nyanyi-nyanyi di manapun, kapanpun. Salah satu bahan nostalgia masa kecil favorit mama-papa saya adalah cerita tentang saya waktu masih berusia satu tahun lebih dikit, terus iseng rekaman bersama my musically-inclined uncle, Oom Toni. Umur segitu, nyanyi apa? Lagu standar anak-anak macam 'balonku', lagu nasional, lagu soundtrack film kartun...dan lagu galau tahun delapan puluhan (Nia Daniati, anyone? Sekarang jadi jelas ya sejak kapan saya 'galau' dan 'lawas', haha).
Ternyata setelah dewasa, I'm nowhere near being a singer. Like, of course, hahaha.
Seri penipuan berlanjut. Waktu TK, saya tertarik sama segala macam hal berwarna-warni; drawing, coloring, and whatnots. Ortu mikir saya bakal jadi pelukis. Ortu jadi suka banget beliin saya alat-alat lukis. Realisasi? Saya lebih berbakat jadi penikmat seni lukis daripada pelukis.
Penipuan berlanjut dengan penampilan saya yang bagaikan a musical prodigy. Orang tua saya memfasilitasi sampai dengan beliin keyboard. Untung nggak sampai terlalu bersemangat dan beliin saya grand piano...karena sampai sekarang skill main piano saya nggak jauh dari main lagu 'Cicak-Cicak di Dinding', hahaha.
Bahkan beberapa saat sebelum daftar kuliah, saya masih melakukan penipuan ini. Pada titik itu, pemikiran orang tua saya adalah saya akan jadi dokter. Perjanjiannya waktu itu, saya akan daftar pilihan pertama kedokteran, baru pilihan kedua psikologi. Karena saya adalah si-anak-pintar keluarga, ya kayaknya semuanya pede banget gitu saya bakal lulus pilihan pertama. I felt like my parents refused to think otherwise. Baru H-1 SNMPTN saya jujur bahwa saya nggak daftar kedokteran sama sekali. Saya langsung pilih psikologi jadi pilihan pertama, dan biologi sebagai pilihan kedua. Orang tua saya...mengelus dada dan tetap mendoakan supaya saya bisa menjadi yang terbaik pada apa pun yang saya pilih.
Penyanyi, pelukis, pianis, dokter...dan entah berapa banyak lagi harapan orang tua mengenai saya yang saya pupuskan. Ah...
Ya, ini bagian dari pencarian identitas, bagian dari menemukan apa yang ingin saya lakukan dengan hidup saya. Yang bikin saya terharu, ternyata orang tua saya selalu ada di latar belakang, mengobservasi saya diam-diam (weeeelll, terkadang nggak terlalu diam-diam juga sih), dan membuat hipotesis-hipotesis mengenai saya. Apa yang saya suka, apa yang saya mau lakukan, apa yang saya minati. Mama dan papa selalu percaya pada kemampuan saya, percaya saya brilian dan bisa jadi yang terbaik. My parents will always be there to support me, even in my most reckless decision.
I won't betray this trust. Seperti yang selalu saya gumamkan saat saya sedang merasa berada di titik nadir : "Saya dilahirkan bukan untuk menyerah dan menyisi dari sejarah." Whatever I choose, I will excel at it, exceeding every expectation. Aren't I, Ma, Pa?
So I hug my mother and said, "Well, Ma...nggak jadi penyanyi tapi insya Allah jadi psikolog, kan? Insya Allah jadi penulis juga? Yang ini mah Mbak nggak akan nipu lagi, janji."
Ps:
Di tengah-tengah sesi komentarin performa kontestan Indonesian Idol, Mama tiba-tiba membelokkan pembicaraan, "Kamu kan waktu kecil suka nyanyi-nyanyi gitu ya, Mbak. Kirain nanti gedenya bakal jadi artis, hahaha."
Saya, yang saat ini kemampuan olah vokalnya cuma sedikit di atas lumba-lumba radang amandel, cuma bisa tertawa miris. Bukan karena nyesel nggak jadi artis, tapi karena tersadar akan sesuatu. Ternyata selama dua puluh tahun saya hidup, saya sudah melakukan banyak penipuan terhadap orang tua saya. Yeah, penipuan berkaitan dengan akan jadi apa saya di masa depan.
Seperti yang mama saya katakan di masa lalu, saya waktu kecil suka nyanyi. Ada lantai yang sedikit aja lebih tinggi dibanding sekitarnya, langsung didaulat jadi panggung. Nyanyi-nyanyi di manapun, kapanpun. Salah satu bahan nostalgia masa kecil favorit mama-papa saya adalah cerita tentang saya waktu masih berusia satu tahun lebih dikit, terus iseng rekaman bersama my musically-inclined uncle, Oom Toni. Umur segitu, nyanyi apa? Lagu standar anak-anak macam 'balonku', lagu nasional, lagu soundtrack film kartun...dan lagu galau tahun delapan puluhan (Nia Daniati, anyone? Sekarang jadi jelas ya sejak kapan saya 'galau' dan 'lawas', haha).
Ternyata setelah dewasa, I'm nowhere near being a singer. Like, of course, hahaha.
Seri penipuan berlanjut. Waktu TK, saya tertarik sama segala macam hal berwarna-warni; drawing, coloring, and whatnots. Ortu mikir saya bakal jadi pelukis. Ortu jadi suka banget beliin saya alat-alat lukis. Realisasi? Saya lebih berbakat jadi penikmat seni lukis daripada pelukis.
Penipuan berlanjut dengan penampilan saya yang bagaikan a musical prodigy. Orang tua saya memfasilitasi sampai dengan beliin keyboard. Untung nggak sampai terlalu bersemangat dan beliin saya grand piano...karena sampai sekarang skill main piano saya nggak jauh dari main lagu 'Cicak-Cicak di Dinding', hahaha.
Bahkan beberapa saat sebelum daftar kuliah, saya masih melakukan penipuan ini. Pada titik itu, pemikiran orang tua saya adalah saya akan jadi dokter. Perjanjiannya waktu itu, saya akan daftar pilihan pertama kedokteran, baru pilihan kedua psikologi. Karena saya adalah si-anak-pintar keluarga, ya kayaknya semuanya pede banget gitu saya bakal lulus pilihan pertama. I felt like my parents refused to think otherwise. Baru H-1 SNMPTN saya jujur bahwa saya nggak daftar kedokteran sama sekali. Saya langsung pilih psikologi jadi pilihan pertama, dan biologi sebagai pilihan kedua. Orang tua saya...mengelus dada dan tetap mendoakan supaya saya bisa menjadi yang terbaik pada apa pun yang saya pilih.
Penyanyi, pelukis, pianis, dokter...dan entah berapa banyak lagi harapan orang tua mengenai saya yang saya pupuskan. Ah...
Ya, ini bagian dari pencarian identitas, bagian dari menemukan apa yang ingin saya lakukan dengan hidup saya. Yang bikin saya terharu, ternyata orang tua saya selalu ada di latar belakang, mengobservasi saya diam-diam (weeeelll, terkadang nggak terlalu diam-diam juga sih), dan membuat hipotesis-hipotesis mengenai saya. Apa yang saya suka, apa yang saya mau lakukan, apa yang saya minati. Mama dan papa selalu percaya pada kemampuan saya, percaya saya brilian dan bisa jadi yang terbaik. My parents will always be there to support me, even in my most reckless decision.
I won't betray this trust. Seperti yang selalu saya gumamkan saat saya sedang merasa berada di titik nadir : "Saya dilahirkan bukan untuk menyerah dan menyisi dari sejarah." Whatever I choose, I will excel at it, exceeding every expectation. Aren't I, Ma, Pa?
So I hug my mother and said, "Well, Ma...nggak jadi penyanyi tapi insya Allah jadi psikolog, kan? Insya Allah jadi penulis juga? Yang ini mah Mbak nggak akan nipu lagi, janji."
Ps:
Herzlichen Glueckwunsch zum Geburtstag,
mein liebe Mutti, Yenni Suhaeni,
my role model of femininity and 'menantu idaman semua mertua sejagat raya', the first writer I admire (aside from Enid Blyton and whoever writes 'The Dolphin's Tale', haha). Wanita yang mengajarkan saya tentang protozoa dan taksonomi sejak usia dini. Wanita yang menyadarkan saya bahwa pengetahuan yang ditulis di buku-buku SD itu cuma seucrit, jadi saya harus menjelajah ke berbagai sumber lain lagi, hehe.
Die Beste Mutter in der Welt!
Die Beste Mutter in der Welt!
In my mind, you are forever forty. Hehe.
I love you, Mummy
I really do.
And like I promised before...I will make you really proud.
deine Tochter,
V
Comments
Post a Comment