Book For Breakfast : Gajah Mada #4 (Perang Bubat)
Gajah Mada: Perang Bubat by Langit Kresna Hariadi
My rating: 2 of 5 stars
Oh Gajah Mada. Oh Perang Bubat. Ocehan tentang buku ini akan sangat panjang karena sebenarnya saya adalah fans seri ini dan saya punya ekspektasi tinggi terutama pada buku ini.
Dari kelima buku seri Gajah Mada, buku inilah yang saya beli duluan karena fragmen kisah Gajah Mada dalam Perang Bubat ini yang paling menarik buat saya. Sebagai orang Sunda yang kebetulan menyukai sejarah, kisah Perang Bubat punya romantisme dan heroisme tersendiri. Selalu menarik untuk membacanya, walau ditulis dari sudut pandang tokoh yang tidak sesuku dengan saya, misalnya Gajah Mada. Apa lagi Gajah Mada memegang peranan penting dalam pecahnya Perang Bubat. Bukankah dapat dikatakan bahwa Perang Bubat terjadi akibat Gajah Mada yang ngotot dengan sumpahnya, padahal Hayam Wuruk dan keluarga kerajaan Majapahit sudah setuju atas pernikahan Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka? Bukankah keluarga Kerajaan Majapahit sudah setuju bahwa dengan pernikahan tersebut Sunda tidak akan berstatus negara bawahan Majapahit, kenapa ini patih ngotot amat sih? Wah, keren banget pasti ini, membayangkan pergulatan batin Gajah Mada plus lika-liku politik dan diplomasi di masa itu.
Saat saya membuka halaman pertamanya, saya agak kaget. "Lho...kok tokoh utamanya namanya Saniscara?" Hmm...ya sudahlah, mungkin ada Gajah Mada nyelip di suatu tempat di bagian pertama ini. Jadi saya meneruskan membaca daaan...nggak nemu Gajah Mada di pembacaan pertama saya yang memang tidak begitu jauh. Saya pikir, mungkin Saniscara ini diperkenalkan di novel-novel sebelumnya, mungkin dia siapanya Gajah Mada. Biar ngerti, mungkin saya harus baca dari buku pertama. Akhirnya buku keempat seri Gajah Mada ini nganggur dengan sabar di rak sementara saya menunggu tabungan saya cukup untuk membeli tiga buku prekuelnya.
Akhirnya saat-saat berbahagia di mana saya bisa baca buku ini secara utuh tiba juga dan...saya merasa tidak seterbius yang saya harapkan oleh kisah ini. Saya akan mencoba menjelaskannya tanpa terlalu spoilery.
Dalam buku ini, terdapat beberapa subplot. Gajah Mada yang menjadi Mahamantrimukya Amangkubumi dan terfokus untuk mewujudkan Hamukti Palapa-nya (diceritakan pada buku ketiga). Pradhabasu, mantan Bhayangkara yang juga sahabat Gajah Mada, mencari Sang Prajaka, anaknya yang mengalami kelainan jiwa. Kemudian ada juga cerita tentang Riung Sedatu, seorang laki-laki yang amnesia dan mungkin diharapkan menjadi sosok misterius, namun cuma butuh sekejap untuk menebak siapa dia sebenarnya. Kemudian dari pihak Sunda ada subplot kisah cinta Dyah Pitaloka dengan seorang pelukis bernama Saniscara. Sungguh menjanjikan cerita yang padat, bukan?
Pada kenyataannya, sungguh mencengangkan saat melihat jumlah filler yang digunakan dalam cerita ini. LKH masih sangat suka bermain-main dengan nama dan berkisah dari sudut pandang tokoh-tokoh jelata. Entah berapa tokoh yang cuma dimunculkan sekilas dan perannya dalam cerita pun tidak penting-penting amat, namun diberi nama dan dipanjang-panjangkan tanpa memberi kontribusi berarti pada cerita secara keseluruhan. Terlalu banyak nama, sampai ketika Perang Bubat dituturkan, saya nggak langsung ngeh mana yang prajurit Sunda dan mana yang prajurit Majapahit. Sekilas saya teringat adegan peperangan di buku lain yang lebih kolosal namun tidak sampai bikin saya merasa overload dengan nama-nama.
Saya juga kadang pusing kalau penyebutan nama untuk satu tokoh berbeda-beda tanpa konteks yang jelas dalam suatu fragmen. Misalnya Sri Gitarja punya nama lain Tribuanatunggadewi dan beberapa lainnya. Gelar-gelar itu digunakan secara bergantian dalam satu potongan cerita yang pendek. Untuk orang-orang yang belum akrab dengan nama-nama ini, rasanya yang dibicarakan lebih dari satu orang, padahal mah cuma satu, tapi gelarnya banyak, mana panjang lagi. Contoh paling mencolok ada di bagian awal cerita, saat keluarga Pradhabasu membicarakan Hayam Wuruk. Dalam satu paragraf, Hayam Wuruk disebut beberapa kali dengan nama yang berbeda. Yang menggelikan, di footnote tertera penjelasan bahwa itu adalah gelar Hayam Wuruk yang digunakan pada suatu situasi tertentu...dan situasi di mana penyebutan nama itu terjadi sama sekali tidak sesuai.
Lebih mengecewakan lagi karena saya merasa tokoh-tokoh utamanya jadi kurang tergarap. Gajah Mada sebagai tokoh utama (namanya kan yang jadi judul seri?) cuma nongol sekali-kali. Pergulatan batin, kelihaian politik, atau apa pun itu tidak tampak. Saya mengerti sumber sejarah yang mengisahkan temperamen Gajah Mada mungkin sangat sedikit, tapi di sini Gajah Mada terasa sangat flat dan LKH kurang mengambil licentia poetica dalam bermain dengan karakter ini. Nggak jelas apa peran dia dalam kisah yang berlangsung. Beda dengan ketika kita membaca buku pertama, misalnya, di mana Gajah Mada tampil dengan berkarakter. Di sini yang lebih tampil malah bawahan Gajah Mada, misalnya Gajah Enggon dan Pradhabasu...yang bikin saya mikir, ini buku harusnya dikasih judul 'Bhayangkara' aja, kayaknya lebih cocok.
Plot device amnesia dan kelainan jiwa digunakan di sini, dan untuk beberapa saat saya mengernyit. Saya merasa bahwa bagian ini agak kurang logis...kurang sesuai dengan apa yang saya pelajari di perkuliahan psikologi selama hampir empat tahun terakhir. Saya bersyukur LKH melakukan banyak riset tentang sejarah, namun sayang risetnya tentang psikologi kurang mendalam kali ini
Tibalah kita di puncak ocehan, mengenai penggambaran tokoh Dyah Pitaloka. Saya rasa bukan sesuatu yang aneh bahwa Dyah Pitaloka digambarkan menyukai orang lain, bukan Hayam Wuruk. Bagaimana pun pernikahan mereka kan pada intinya pernikahan politik. Versi lebih romantik (dan dianut novel ini juga) menyatakan bahwa Hayam Wuruk jatuh cinta pada Dyah Pitaloka lewat sebuah lukisan. Namun kisah cinta Pitaloka di sini sungguh sangat dipaksakan. Kita tidak diberi kesempatan untuk melihat mengapa Dyah Pitaloka yang Sekar Kedaton ini jatuh cinta pada Saniscara. Oke, Saniscara dapat melukis dengan sangat indah...terus? Langsung kesengsem aja gitu? Random amat. Come on, Pitaloka, you can do better than this! Dyah Pitaloka hampir selalu digambarkan sebagai sosok yang berprinsip kuat, tapi kok di sini menye-menye amat. Memang dia tetap memilih mati daripada diperistri Hayam Wuruk dengan dipermalukan, tapi...lagi-lagi saya mau ngeluh soal pergulatan batin yang terlalu datar. Terasa benar bahwa tokoh-tokoh dalam cerita ini adalah pion-pion yang digerakkan sesuai plot yang diinginkan LKH. Tokoh-tokoh ini kehilangan 'kehidupan' yang masih bisa kita rasakan di buku-buku sebelumnya.
Satu lagi, pada klimaks cerita, saat terjadinya perang Bubat, LKH memilih menceritakan ketragisan medan peperangan dari sudut pandang pemikiran binatang-binatang di sekitar Padang Bubat. Saya udah mau teriak frustrasi. Saya mau tahu tentang guncangan jiwa dan kegetiran pihak-pihak yang berperang, bukannya deskripsi datar tentang siapa menusuk siapa, lalu pemikiran rajawali yang kebetulan terbang melintas, bahwa walaupun rajawali adalah burung yang buas, dia tidak pernah membunuh sesamanya. I couldn't care less about the eagles, please, please do show me human emotion! Argh, so frustrating.
Juga jangan biarkan saya mencerocos tentang pemborosan kata-kata yang terjadi di buku ini... pasti akan lama selesainya.
Sekali lagi, saya menggemari seri ini secara keseluruhan, tapi buku ini bukanlah favorit saya, juga bukan penuturan Perang Bubat yang paling saya sukai. Saya cuma berharap bahwa semua kekecewaan ini dapat terbayar tuntas pada buku kelima (Madakaripura Hamukti Moksa).
View all my reviews
My rating: 2 of 5 stars
Oh Gajah Mada. Oh Perang Bubat. Ocehan tentang buku ini akan sangat panjang karena sebenarnya saya adalah fans seri ini dan saya punya ekspektasi tinggi terutama pada buku ini.
Dari kelima buku seri Gajah Mada, buku inilah yang saya beli duluan karena fragmen kisah Gajah Mada dalam Perang Bubat ini yang paling menarik buat saya. Sebagai orang Sunda yang kebetulan menyukai sejarah, kisah Perang Bubat punya romantisme dan heroisme tersendiri. Selalu menarik untuk membacanya, walau ditulis dari sudut pandang tokoh yang tidak sesuku dengan saya, misalnya Gajah Mada. Apa lagi Gajah Mada memegang peranan penting dalam pecahnya Perang Bubat. Bukankah dapat dikatakan bahwa Perang Bubat terjadi akibat Gajah Mada yang ngotot dengan sumpahnya, padahal Hayam Wuruk dan keluarga kerajaan Majapahit sudah setuju atas pernikahan Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka? Bukankah keluarga Kerajaan Majapahit sudah setuju bahwa dengan pernikahan tersebut Sunda tidak akan berstatus negara bawahan Majapahit, kenapa ini patih ngotot amat sih? Wah, keren banget pasti ini, membayangkan pergulatan batin Gajah Mada plus lika-liku politik dan diplomasi di masa itu.
Saat saya membuka halaman pertamanya, saya agak kaget. "Lho...kok tokoh utamanya namanya Saniscara?" Hmm...ya sudahlah, mungkin ada Gajah Mada nyelip di suatu tempat di bagian pertama ini. Jadi saya meneruskan membaca daaan...nggak nemu Gajah Mada di pembacaan pertama saya yang memang tidak begitu jauh. Saya pikir, mungkin Saniscara ini diperkenalkan di novel-novel sebelumnya, mungkin dia siapanya Gajah Mada. Biar ngerti, mungkin saya harus baca dari buku pertama. Akhirnya buku keempat seri Gajah Mada ini nganggur dengan sabar di rak sementara saya menunggu tabungan saya cukup untuk membeli tiga buku prekuelnya.
Akhirnya saat-saat berbahagia di mana saya bisa baca buku ini secara utuh tiba juga dan...saya merasa tidak seterbius yang saya harapkan oleh kisah ini. Saya akan mencoba menjelaskannya tanpa terlalu spoilery.
Dalam buku ini, terdapat beberapa subplot. Gajah Mada yang menjadi Mahamantrimukya Amangkubumi dan terfokus untuk mewujudkan Hamukti Palapa-nya (diceritakan pada buku ketiga). Pradhabasu, mantan Bhayangkara yang juga sahabat Gajah Mada, mencari Sang Prajaka, anaknya yang mengalami kelainan jiwa. Kemudian ada juga cerita tentang Riung Sedatu, seorang laki-laki yang amnesia dan mungkin diharapkan menjadi sosok misterius, namun cuma butuh sekejap untuk menebak siapa dia sebenarnya. Kemudian dari pihak Sunda ada subplot kisah cinta Dyah Pitaloka dengan seorang pelukis bernama Saniscara. Sungguh menjanjikan cerita yang padat, bukan?
Pada kenyataannya, sungguh mencengangkan saat melihat jumlah filler yang digunakan dalam cerita ini. LKH masih sangat suka bermain-main dengan nama dan berkisah dari sudut pandang tokoh-tokoh jelata. Entah berapa tokoh yang cuma dimunculkan sekilas dan perannya dalam cerita pun tidak penting-penting amat, namun diberi nama dan dipanjang-panjangkan tanpa memberi kontribusi berarti pada cerita secara keseluruhan. Terlalu banyak nama, sampai ketika Perang Bubat dituturkan, saya nggak langsung ngeh mana yang prajurit Sunda dan mana yang prajurit Majapahit. Sekilas saya teringat adegan peperangan di buku lain yang lebih kolosal namun tidak sampai bikin saya merasa overload dengan nama-nama.
Saya juga kadang pusing kalau penyebutan nama untuk satu tokoh berbeda-beda tanpa konteks yang jelas dalam suatu fragmen. Misalnya Sri Gitarja punya nama lain Tribuanatunggadewi dan beberapa lainnya. Gelar-gelar itu digunakan secara bergantian dalam satu potongan cerita yang pendek. Untuk orang-orang yang belum akrab dengan nama-nama ini, rasanya yang dibicarakan lebih dari satu orang, padahal mah cuma satu, tapi gelarnya banyak, mana panjang lagi. Contoh paling mencolok ada di bagian awal cerita, saat keluarga Pradhabasu membicarakan Hayam Wuruk. Dalam satu paragraf, Hayam Wuruk disebut beberapa kali dengan nama yang berbeda. Yang menggelikan, di footnote tertera penjelasan bahwa itu adalah gelar Hayam Wuruk yang digunakan pada suatu situasi tertentu...dan situasi di mana penyebutan nama itu terjadi sama sekali tidak sesuai.
Lebih mengecewakan lagi karena saya merasa tokoh-tokoh utamanya jadi kurang tergarap. Gajah Mada sebagai tokoh utama (namanya kan yang jadi judul seri?) cuma nongol sekali-kali. Pergulatan batin, kelihaian politik, atau apa pun itu tidak tampak. Saya mengerti sumber sejarah yang mengisahkan temperamen Gajah Mada mungkin sangat sedikit, tapi di sini Gajah Mada terasa sangat flat dan LKH kurang mengambil licentia poetica dalam bermain dengan karakter ini. Nggak jelas apa peran dia dalam kisah yang berlangsung. Beda dengan ketika kita membaca buku pertama, misalnya, di mana Gajah Mada tampil dengan berkarakter. Di sini yang lebih tampil malah bawahan Gajah Mada, misalnya Gajah Enggon dan Pradhabasu...yang bikin saya mikir, ini buku harusnya dikasih judul 'Bhayangkara' aja, kayaknya lebih cocok.
Plot device amnesia dan kelainan jiwa digunakan di sini, dan untuk beberapa saat saya mengernyit. Saya merasa bahwa bagian ini agak kurang logis...kurang sesuai dengan apa yang saya pelajari di perkuliahan psikologi selama hampir empat tahun terakhir. Saya bersyukur LKH melakukan banyak riset tentang sejarah, namun sayang risetnya tentang psikologi kurang mendalam kali ini
Tibalah kita di puncak ocehan, mengenai penggambaran tokoh Dyah Pitaloka. Saya rasa bukan sesuatu yang aneh bahwa Dyah Pitaloka digambarkan menyukai orang lain, bukan Hayam Wuruk. Bagaimana pun pernikahan mereka kan pada intinya pernikahan politik. Versi lebih romantik (dan dianut novel ini juga) menyatakan bahwa Hayam Wuruk jatuh cinta pada Dyah Pitaloka lewat sebuah lukisan. Namun kisah cinta Pitaloka di sini sungguh sangat dipaksakan. Kita tidak diberi kesempatan untuk melihat mengapa Dyah Pitaloka yang Sekar Kedaton ini jatuh cinta pada Saniscara. Oke, Saniscara dapat melukis dengan sangat indah...terus? Langsung kesengsem aja gitu? Random amat. Come on, Pitaloka, you can do better than this! Dyah Pitaloka hampir selalu digambarkan sebagai sosok yang berprinsip kuat, tapi kok di sini menye-menye amat. Memang dia tetap memilih mati daripada diperistri Hayam Wuruk dengan dipermalukan, tapi...lagi-lagi saya mau ngeluh soal pergulatan batin yang terlalu datar. Terasa benar bahwa tokoh-tokoh dalam cerita ini adalah pion-pion yang digerakkan sesuai plot yang diinginkan LKH. Tokoh-tokoh ini kehilangan 'kehidupan' yang masih bisa kita rasakan di buku-buku sebelumnya.
Satu lagi, pada klimaks cerita, saat terjadinya perang Bubat, LKH memilih menceritakan ketragisan medan peperangan dari sudut pandang pemikiran binatang-binatang di sekitar Padang Bubat. Saya udah mau teriak frustrasi. Saya mau tahu tentang guncangan jiwa dan kegetiran pihak-pihak yang berperang, bukannya deskripsi datar tentang siapa menusuk siapa, lalu pemikiran rajawali yang kebetulan terbang melintas, bahwa walaupun rajawali adalah burung yang buas, dia tidak pernah membunuh sesamanya. I couldn't care less about the eagles, please, please do show me human emotion! Argh, so frustrating.
Juga jangan biarkan saya mencerocos tentang pemborosan kata-kata yang terjadi di buku ini... pasti akan lama selesainya.
Sekali lagi, saya menggemari seri ini secara keseluruhan, tapi buku ini bukanlah favorit saya, juga bukan penuturan Perang Bubat yang paling saya sukai. Saya cuma berharap bahwa semua kekecewaan ini dapat terbayar tuntas pada buku kelima (Madakaripura Hamukti Moksa).
View all my reviews
Comments
Post a Comment