Book for Breakfast : Woman in Black

The Woman in BlackThe Woman in Black by Susan Hill

My rating: 3 of 5 stars

Kalau ingat Woman in Black, ingat juga suatu hari di mana saya terjebak di Nangor karena pulang kemalaman. Terus ketemu Age di Jatos dan secara impulsif memutuskan untuk nonton bareng.
"Tapi nonton apaan?"
"Gak tau. Naon we lah. Yang serem yuk."
"Sok berani luh."
Dan karena pilihannya antara "Nenek Gayung" dan "Woman in Black"...udah jelas kan ya pilihannya yang mana. Waktu itu nggak tau ini cerita apaan, sempet ketawa-ketawa nggak jelas karena Daniel Radcliffe di otak kami masih Harry Potter banget tapi di film ini kok kayak abah-abah. Namun adegan pertama di film ini sanggup bikin kami teriak-teriak ("JANGAAAN LONCAAAAT!" "BENGAAAAAK!")...yang berlanjut secara random di sepanjang film. That day I cursed more than I've done in my entire life (excluding curses I muttered in Russian/German), and the film remains my favourite horror movie of all time. 

 Official Trailer UK Woman in Black

Beberapa saat setelah nonton, akhirnya tahu bahwa film itu diangkat dari sebuah novel karya Susan Hill. Langsung janji sama diri sendiri pengen beli. Now here I am, with this book in my clutch. Let's see how this book will turn out, bengak-an mana, versi film apa bukunya.

Setelah baca
Karena ketertarikan nonton film ini diawali oleh terkesannya (atau lebih bener kalau disebut "terpekik-pekik cupu ketakutan") saya pada filmnya, maka maafkan kalau dalam review ini kesannya saya membanding-bandingkan buku dengan filmnya.

Woman in Black berkisah mengenai Arthur Kipps, seorang solicitor (apa ya bahasa Indonesianya, notaris?) muda yang ditugaskan untuk mengurus berkas-berkas milik Alice Drablow, seorang wanita tua penyendiri yang tinggal di Eel Marsh House, Crythin Gifford, desa kecil di pinggiran Inggris. Ternyata dia menemukan bahwa mengurus berkas-berkas Alice Drablow tidak semudah yang dia pikirkan sebelumnya. Bukan karena Alice Drablow memiliki terlalu banyak aset, namun karena kehadiran Woman in Black, sosok wanita misterius yang terusik oleh Arthur serta berbagai kehororan yang menyertainya. Siapakah Woman in Black dan mengapa ia mengganggu Arthur? Apakah Arthur berhasil menyelesaikan tugasnya dengan selamat di Eel Marsh House?

Formula kengerian di Woman in Black sungguh klasik. Rumah tua terpencil yang akan langsung terputus dari peradaban apabila air laut pasang, lengkap dengan kabut yang turun tiba-tiba dan pemakaman tua di dekatnya. Kematian wanita tua eksentrik yang penyendiri, meninggalkan banyak misteri. Kemunculan sosok wanita bercadar hitam misterius, yang setiap kali terlihat, akan ada tumbal nyawa yang jatuh. Yang menambah kemirisan lagi, nyawa yang jatuh itu pastilah anak-anak.

The haunted Eel Marsh House

Dengan formula kengerian yang sudah teruji itu, tidak sulit sebenarnya bagi Woman in Black, baik film maupun bukunya, untuk membangkitkan bulu roma. Deskripsi mendetail fisik dan suasana Crythin Gifford (Eel Marsh House khususnya) mampu membangkitkan imajinasi tentang muramnya sebuah desa kecil di Inggris yang berada dalam kondisi mendung dan berkabut secara hampir konstan. Latar yang dibangun sempurna untuk kemunculan fokus utama kengerian : penampakan sang Woman in Black yang meminta tumbal. Namun bagi saya, film Woman in Black lebih melibatkan emosi penontonnya, dibandingkan dengan bukunya. Hal itu terjadi bukan hanya karena film adalah karya audiovisual, sementara kenikmatan buku lebih tergantung pada imajinasi pembacanya, meskipun jelas nuansa warna serta akting di filmnya sangat membantu saya "terpekik-pekik cupu ketakutan."

Terus kalau bukan hanya itu, apa saja?
1. Arthur Kipps di buku sebagian besar diceritakan sebagai seorang solicitor muda yang bermasa depan cerah. Dia adalah salah satu kolega yang diandalkan firmanya, serta memiliki tunangan cantik bernama Stella yang akan dinikahinya. Penugasan Arthur ke Crythin Gifford disambutnya dengan bersemangat, hampir-hampir terasa seperti liburan. Dengan demikian, walaupun cuaca dan suasana Crythin Gifford begitu muram, Arthur di buku langsung mengalihkan perhatian ke hal-hal lain yang 'hangat' dan 'ceria' untuk  menghilangkan ketakutannya sendiri. Kadang-kadang, Arthur sangat berhasil sampai ketakutan pembaca ikut menghilang juga.

Di film, Arthur Kipps adalah seorang duda yang ditinggal istrinya, Stella, yang meninggal saat melahirkan anak mereka, Joseph. Kesedihan karena ditinggal istrinya dan harus membesarkan anaknya sendiri ini membuat Arthur kehilangan fokus dalam pekerjaannya. Arthur hampir dipecat jika dia tidak bisa melaksanakan tugasnya di Crythin Gifford dengan baik, sehingga kepergian Arthur sangat terasa suram dan terpaksa. Apa lagi, dia sebenarnya sudah berjanji untuk bermain bersama Joseph seandainya dia tidak pergi bekerja. Gambaran Arthur yang dibayangi kesedihan, dan terus menerus mengecek gambar yang dibuatkan Joseph untuk membuatnya bertahan, jauh terasa lebih simpatik.

2. Kemunculan Woman in Black di film penyebabnya sangat jelas. Dia akan menampakkan diri apabila ada orang yang datang ke Eel Marsh House. Oleh karena itu, penduduk desa sangat tidak ramah pada Arthur saat tahu Arthur datang untuk mengurus berkas aset milik Mrs. Drablow di rumah itu. Pemilik penginapan dan notaris setempat hampir-hampir mengusir Arthur secara terbuka. Sayang, Arthur tidak bisa pulang begitu saja karena pekerjaannya jadi taruhan.

Di buku, kemunculan Woman in Black random banget. Kayaknya dia muncul khusus buat nakut-nakutin Arthur. Walaupun di sini penduduk desa juga nggak mau mendekati Eel Marsh House, mereka tetap bersikap ramah pada Arthur karena...well, Arthur nggak melanggar tabu apa-apa. Dia cuma sial aja.
...dan aku serta Age pun berteriak...
"ITU DI BELAKANG, BENGAAAAK!"

3. (view spoiler)[ Kemunculan Woman in Black akan diikuti oleh kematian anak-anak di Crythin Gifford. Di film, kematian ini datang secara hampir kontan. Arthur bahkan sempat melihat sendiri kematian beberapa anak, sempat berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan anak-anak tersebut dan gagal. Hal ini membuat Arthur sangat terpukul, membuatnya tampak makin putus asa seiring berjalannya waktu. Apa lagi dia sendiri punya anak, Joseph, dan dia pasti tidak akan tahan kalau dia kehilangan anaknya. Orang-orang desa makin kasar terhadap Arthur karena mereka tahu pasti kematian anak-anak ini disebabkan oleh ulah Arthur. Arthur benar-benar tertekan oleh keadaan. Di satu sisi dia memang tidak mau datang lagi ke Eel Marsh House dan melihat kematian lebih banyak anak-anak, namun di sisi lain, dia tidak akan bisa membiayai hidup Joseph kalau dia meninggalkan pekerjaan ini. Karena itulah, Arthur menguatkan dirinya untuk memecahkan misteri Woman in Black. Mencari tahu apa maunya hantu wanita itu sehingga jiwanya bisa menjadi damai.

Walaupun tentu saja bermalam di Eel Marsh House dan ngeliat Woman in Black adalah pengalaman menyeramkan, Arthur di buku lebih cupu daripada Arthur di film. Dia tidak terdorong untuk memecahkan misteri Woman in Black, latar belakang Woman in Black ditemukannya secara hampir tidak sengaja. Kematian anak-anak di buku...well, katakan saja tidak semencekam penggambaran di film. Lagipula Arthur belum punya anak, sehingga kejadian itu tidak mengguncang kondisi psikologisnya sekuat di film. Plus, kemunculan Woman in Black yang random membuat Arthur tidak begitu merasa bertanggung jawab. Beda banget sama Arthur di film yang tahu pasti kedatangannya di Eel Marsh House lah yang memicu kemunculan Woman in Black dan membuat anak-anak itu mati. "Anak-anak itu mati karena gue...gue melihat Woman in Black. Eh tapi nggak deng, gue nggak ngapa-ngapain selain...apaan, naik sepeda, jalan-jalan sama anjing, ngobrol-ngobrol soal cuaca! Kenapa Woman in Black hanya muncul di depan gue deh? Kenapa nggak muncul random di depan orang lain aja?" protes Arthur di buku. Eh, iya juga sih. (hide spoiler)]


Overall, buku ini lumayan bikin merinding. Kenyataan bahwa penampakan rumah saya sedikit mirip penggambaran Eel Marsh House, ditambah mendung menggantung saat saya membacanya, sama sekali nggak membantu menghilangkan rindingan itu. Hanya saja, di buku, pemeran utama tidak memiliki keterlibatan emosional dengan peristiwa di Crythin Gifford sedalam yang digambarkan di film. Ujung-ujungnya kita sebagai pembaca juga nggak begitu terlibat. Di beberapa bagian, deskripsinya terlalu ceria. Kasian aja, karena sebelumnya penulis udah susah payah membangun suasana biar mencekam. Jadi, buku ini cocok banget buat orang-orang yang ingin baca buku horor tapi nggak mau terlalu ketakutan.

Buat orang-orang yang mau dibikin kaget, ngeri, teriak-teriak...serius deh, tinggalkan aja bukunya dan pergi nonton filmnya.

Liebe Grusse,
Deine Vera
View all my reviews

Comments

Popular posts from this blog

Pelajaran Berharga yang Vera Dapat Minggu ini

Aishiteru - Kizuna (a.k.a. The Movie That Made Me Feel Like A Stone-Hearted Cyborg)

Tujuh Bulan Lewat : KKNM Sukatani Januari-Februari 2013