Confessions (a.k.a the Sickest Movie I've Watched So Far in 2013)
I'm still on my Okada Masaki weekly movie-watching marathon, and this is the movie of the week! Woot!
Film ini diangkat dari novel pertama karya Minato Kanae, yang sebelumnya adalah ibu rumah tangga. This only makes it creepier. Bayangin deh kalau kamu ngeliat ibumu sedang melamun, terus kamu bertanya, "Mama mikirin apa?" Dan ibumu menjawab, "Oooh, nggak apa. Cuma sedang mikir metode membunuh orang dan alasan yang tepat untuk melakukannya..."
Here's the English Subbed trailer for the movie :
Setuju kan, bahwa film dengan color palette suram (and occasional vivid blood red) dan narasi muram yang menggunakan lagu seperti itu pasti film sakit. Ketika mendengar lagunya, saya agak teringat fragmen Beethoven's Symphony no. 9 dan itu terasa makin sakit karena dalam Symphony no.9 itu ada Ode to Joy. 'Revenge' and 'Joy' shouldn't be matched, really. Saya masih cari-cari sih itu sebenarnya lagu apa, soalnya terdengar akrab. Was it Beethoven's Piano Concerto? Anyway, it's emotional, and build up to a cynical ambience combined with the scenes.
Akhirnya saya memutuskan untuk menontonnya. Dan saya nggak salah mengira. Ini film memang sakit.
Film ini dibuka dengan suasana kelas yang sangat ceria, terlepas dari palet warna yang didominasi hitam-abu-hijau gelap. Anak-anak meminum susu gratisan yang dibagikan pemerintah; sebagian menjadikannya mainan; sebagian tidak peduli. Guru Moriguchi Yoko (Matsu Takako) berjalan berkeliling, mengingatkan anak-anak untuk mengembalikan karton susu ke tempatnya apabila sudah selesai. Sang guru berceramah, namun tidak ada yang memerhatikannya. Sampai sang guru berkata seperti ini:
Sang guru menatap kosong. Dia tidak menyuruh murid-muridnya diam. Dia sudah tidak peduli murid-muridnya melakukan apa. Dia menjelaskan mengapa dia berhenti, walau tidak banyak yang mendengarkannya. Sang guru bercerita tentang anaknya yang meninggal beberapa waktu lalu. Dia bercerita tentang suaminya yang penderita HIV-positif. Dia bercerita tentang hasil investigasinya bahwa anaknya meninggal karena dibunuh oleh dua orang muridnya di kelas itu, yang disebutnya sebagai murid A dan murid B. Dia bercerita bahwa dia telah menyuntikkan darah suaminya yang mengandung virus HIV pada susu murid A dan murid B. Ini adalah bentuk balas dendamnya karena menurut hukum Jepang, anak-anak berusia di bawah 14 tahun tidak bertanggung jawab atas kejahatan yang mereka lakukan. Walaupun mereka dilaporkan ke polisi, mereka tidak akan mendapatkan hukuman apa-apa selain konsultasi ke rumah asuh. Moriguchi decided that it was simply not enough.
Murid B memucat. Murid A muntah-muntah dan berlari keluar kelas. Sekarang semua murid kelas 1-B tahu siapa yang dimaksud Guru Moriguchi, begitu pun kita. Semua ini terjadi melalui eksposisi berlaju lambat dan selesai sekitar menit ke-25.
Wait, this is the main conflict, right? The culprit was identified and punished. Sure, sangat kecil kemungkinan tertular HIV setelah meminum darah yang terkontaminasi HIV, tapi berhubung murid-murid airhead ini bahkan percaya HIV bisa ditularkan melalui sentuhan kulit, berita ini akan membuat mereka depresi berat. Mentally ill, maybe...and living like that is way worse than death. Ya, kan? Namun balas dendam sang guru tidak berakhir sampai di situ. Afterall, this movie still have, like, 80 minutes of airing time.
Sepeninggal Guru Moriguchi, posisi wali kelas mereka digantikan oleh Terada Yoshiteru (Okada Masaki). Guru yang sangat antusias, sok dekat...tapi sangat nggak peka. Candaannya sangat pathetic, tidak ada murid yang tertawa, tapi dia tidak menyadari itu. Dia memanggil anak-anak dengan nama akrab, dan meminta mereka memanggilnya Werther (nggak tahu apakah itu terjemahan yang benar, karena Werther adalah tokoh dalam tragedi Goethe yang sangat melankolis, berbeda dengan Terada di film ini. Walaupun mungkin saja sih itu semacam sick joke seperti film ini secara keseluruhan). A child was bullied under his nose and he didn't realise it until it was too late. Dia juga berkeras agar murid-murid kelasnya menyemangati seorang murid yang mogok sekolah. Dia nggak tahu bahwa murid itu nggak sekolah karena terlibat pembunuhan anak Guru Moriguchi, dan mengira dirinya tertular HIV dari susu yang diberikan Guru Moriguchi. Yang jelas, antusiasme Terada yang berbinar-binar malah membuat kondisi memburuk.
Sesuai judulnya, 'Confessions', film ini dituturkan dari berbagai sudut pandang tokoh yang berkaitan dengan kematian anak Guru Moriguchi. Opini kita mengenai seorang tokoh dan sebuah kejadian dibangun, untuk kemudian dihancurkan saat cerita tersebut dituturkan dari sudut pandang tokoh lain. Siapa penjahat? Siapa korban? Everybody fit the bill. Semua tokoh punya justifikasi atas apa yang dilakukannya, meskipun itu tidak serta-merta membuatnya jadi 'benar'. Ini membuat mereka tidak terasa one dimensional. Sick people, but still people nonetheless.
Sinematografi film ini...juara. The slow-mo effect were executed purposefully, and it did explore more emotion and irony. Nakashima Tetsuya tidak berusaha membuat kejadian-kejadian ini terasa 'nyata', seakan-akan bisa terjadi padamu dan teman-teman sekolahmu. Film ini terasa seperti ejekan besar-besaran, dengan ambience, background music, dan ekspresi wajah yang bertabrakan. Miris, surreal, tapi mampu membuat terlena dengan jalan cerita dan suspense-nya. Setelah film ini selesai, saya dipenuhi rasa syukur karena ini sangat kecil kemungkinannya terjadi pada saya... dan jadi parno tiap liat orang ketawa, siapa tahu dalam otak mereka, mereka sedang merakit rencana pembunuhan. Makasih banget lho ya, Kokuhaku.
Bintang dari film ini, selain Matsu Takako yang berakting stoic nan psycho adalah remaja-remaja yang menjadi penghuni kelas 1-B. Utamanya Nishii Yukito dan Hashimoto Ai. Dan satu murid perempuan berambut pendek yang suka tiba-tiba ketawa dan nyanyi-nyanyi, tapi saya nggak tahu namanya. Brilliant young actors/actresses, I said. Susah, saya yakin, untuk memerankan anak-anak di bawah umur dengan kegilaan terselubung. Twisted, yet still managed to look innocent and pitiful. Apakah mereka masih memiliki harapan? Apakah mereka pantas memiliki harapan? Ataukah mereka adalah lost cause, irreversibly broken, lebih baik dienyahkan saja sebelum jadi sampah masyarakat?
Kokuhaku International Movie Poster |
Confessions (Kokuhaku)
- Japanese: 告白
- Director: Tetsuya Nakashima
- Writer: Kanae Minato (novel), Tetsuya Nakashima
- Release Date: June 5, 2010
- Runtime: 106 min.
You can watch it here
Belum pernah nonton film ini sebelumnya, walaupun sudah tahu film ini ada dari lama. Padahal kalau dilihat dari award-nya, ini film tidak diragukan lagi kualitasnya. Matsu Takako (pemeran Yoko Moriguchi), Okada Masaki, dan Nakashima Tetsuya panen nominasi (dan menang beberapa). Film ini juga merupakan official Academy Award submission dari Jepang untuk kategori film asing terbaik.
Terus kenapa nggak segera nonton? Well, let's see the brief synopsis (as written in AsianWiki) :
Middle school teacher Yoko Moriguchi's (Takako Matsu) life comes crashing down after the murder of her 4 year old daughter. Eventually Yoko Moriguchi suspects some of her own students to have been responsible for her daughter's death. An elaborate plan for revenge then ensues, including forcing students to drink HIV tainted milk ...Mikir-mikir lagi nih mau nonton...nggak...nonton...nggak. Saya kan sebenernya nggak tahan-tahan amat sama film seram. Waktu nonton Woman in Black, saya teriak-teriak cupu sama Age di bioskop. Habis nonton The Conjuring, keringat dingin keluar setiap saya melihat ke atas lemari. Iya, ini bukan film hantu, tapi film bertema balas dendam dengan poster seperti ini, tingkat keseramannya menurut saya nggak akan jauh beda.
Film ini diangkat dari novel pertama karya Minato Kanae, yang sebelumnya adalah ibu rumah tangga. This only makes it creepier. Bayangin deh kalau kamu ngeliat ibumu sedang melamun, terus kamu bertanya, "Mama mikirin apa?" Dan ibumu menjawab, "Oooh, nggak apa. Cuma sedang mikir metode membunuh orang dan alasan yang tepat untuk melakukannya..."
Here's the English Subbed trailer for the movie :
Setuju kan, bahwa film dengan color palette suram (and occasional vivid blood red) dan narasi muram yang menggunakan lagu seperti itu pasti film sakit. Ketika mendengar lagunya, saya agak teringat fragmen Beethoven's Symphony no. 9 dan itu terasa makin sakit karena dalam Symphony no.9 itu ada Ode to Joy. 'Revenge' and 'Joy' shouldn't be matched, really. Saya masih cari-cari sih itu sebenarnya lagu apa, soalnya terdengar akrab. Was it Beethoven's Piano Concerto? Anyway, it's emotional, and build up to a cynical ambience combined with the scenes.
Akhirnya saya memutuskan untuk menontonnya. Dan saya nggak salah mengira. Ini film memang sakit.
Pop... Can't you hear that, Miss? It's the sound of something important to you disappearing...
Film ini dibuka dengan suasana kelas yang sangat ceria, terlepas dari palet warna yang didominasi hitam-abu-hijau gelap. Anak-anak meminum susu gratisan yang dibagikan pemerintah; sebagian menjadikannya mainan; sebagian tidak peduli. Guru Moriguchi Yoko (Matsu Takako) berjalan berkeliling, mengingatkan anak-anak untuk mengembalikan karton susu ke tempatnya apabila sudah selesai. Sang guru berceramah, namun tidak ada yang memerhatikannya. Sampai sang guru berkata seperti ini:
I've had enough, so this will be my last month as a teacher.
And that twisted bunch of kids focused their attention to their teacher for the first time just to cheer and celebrate the news.
Sang guru menatap kosong. Dia tidak menyuruh murid-muridnya diam. Dia sudah tidak peduli murid-muridnya melakukan apa. Dia menjelaskan mengapa dia berhenti, walau tidak banyak yang mendengarkannya. Sang guru bercerita tentang anaknya yang meninggal beberapa waktu lalu. Dia bercerita tentang suaminya yang penderita HIV-positif. Dia bercerita tentang hasil investigasinya bahwa anaknya meninggal karena dibunuh oleh dua orang muridnya di kelas itu, yang disebutnya sebagai murid A dan murid B. Dia bercerita bahwa dia telah menyuntikkan darah suaminya yang mengandung virus HIV pada susu murid A dan murid B. Ini adalah bentuk balas dendamnya karena menurut hukum Jepang, anak-anak berusia di bawah 14 tahun tidak bertanggung jawab atas kejahatan yang mereka lakukan. Walaupun mereka dilaporkan ke polisi, mereka tidak akan mendapatkan hukuman apa-apa selain konsultasi ke rumah asuh. Moriguchi decided that it was simply not enough.
Murid B memucat. Murid A muntah-muntah dan berlari keluar kelas. Sekarang semua murid kelas 1-B tahu siapa yang dimaksud Guru Moriguchi, begitu pun kita. Semua ini terjadi melalui eksposisi berlaju lambat dan selesai sekitar menit ke-25.
Sick, vengeful teacher, and a bunch of crazy kids. You will start to question the meaning of innocence after watching this one. |
Sepeninggal Guru Moriguchi, posisi wali kelas mereka digantikan oleh Terada Yoshiteru (Okada Masaki). Guru yang sangat antusias, sok dekat...tapi sangat nggak peka. Candaannya sangat pathetic, tidak ada murid yang tertawa, tapi dia tidak menyadari itu. Dia memanggil anak-anak dengan nama akrab, dan meminta mereka memanggilnya Werther (nggak tahu apakah itu terjemahan yang benar, karena Werther adalah tokoh dalam tragedi Goethe yang sangat melankolis, berbeda dengan Terada di film ini. Walaupun mungkin saja sih itu semacam sick joke seperti film ini secara keseluruhan). A child was bullied under his nose and he didn't realise it until it was too late. Dia juga berkeras agar murid-murid kelasnya menyemangati seorang murid yang mogok sekolah. Dia nggak tahu bahwa murid itu nggak sekolah karena terlibat pembunuhan anak Guru Moriguchi, dan mengira dirinya tertular HIV dari susu yang diberikan Guru Moriguchi. Yang jelas, antusiasme Terada yang berbinar-binar malah membuat kondisi memburuk.
Could a teacher be more |
Sinematografi film ini...juara. The slow-mo effect were executed purposefully, and it did explore more emotion and irony. Nakashima Tetsuya tidak berusaha membuat kejadian-kejadian ini terasa 'nyata', seakan-akan bisa terjadi padamu dan teman-teman sekolahmu. Film ini terasa seperti ejekan besar-besaran, dengan ambience, background music, dan ekspresi wajah yang bertabrakan. Miris, surreal, tapi mampu membuat terlena dengan jalan cerita dan suspense-nya. Setelah film ini selesai, saya dipenuhi rasa syukur karena ini sangat kecil kemungkinannya terjadi pada saya... dan jadi parno tiap liat orang ketawa, siapa tahu dalam otak mereka, mereka sedang merakit rencana pembunuhan. Makasih banget lho ya, Kokuhaku.
Watanabe Shuya (Nishii Yukito) dan Kitahara Mizuki (Hashimoto Ai), dua orang murid kelas 1-B. |
Cerita film ini (dan novel yang menjadi dasarnya) mungkin terinspirasi dari fenomena pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur di Jepang. I didn't say murder by minors happen in Japan every week, or it didn't happen anywhere else in this world, well...tapi tetap saja ini bukan fakta yang boleh dianggap biasa (contoh kasus : Sasebo slashing dan Kobe child murders). Coba bayangkan, mereka berangkat dari kultur yang mengutamakan orang lain dan penuh sopan santun. Di kehidupan sehari-hari, mereka juga tampak tidak mencolok, tidak berandal. Meskipun begitu, para pelaku bisa melakukan kejahatan yang sangat serius. Ada yang impulsif, namun ada juga yang sangat elaboratif, menjurus ke perencanaan pembunuhan berantai. What happened? Apa yang salah? Bagaimana menanggulanginya? Film ini mencoba mengulas beberapa motif, beserta pola-pola yang ternyata benar terjadi dalam beberapa kasus di Jepang sana. Yang menarik, misalnya penggunaan media sosial untuk memamerkan 'sakit'-nya mereka, sebuah upaya mendapatkan perhatian setelah cara lain gagal (contoh kasus : Akihabara massacre). Juga kecenderungan aneh anak-anak tertentu untuk menganggap perbuatan semacam itu keren dan mengagumkan (contoh kasus : every emo teens in the world).
Lalu selain ulah remaja ini, ada pertanyaan lain yang juga muncul. Sejauh mana kita akan bertindak untuk membalas penganiayaan terhadap orang yang kita sayangi? Sejauh mana kita akan mengejar keadilan? Apa itu keadilan? It's weird to realise that I've been thinking about it all along, while watching kids kicked each other with happy music playing on the background.
To wrap it up, here's the soundtrack of the movie : Last Flower by Radiohead
Appliances have gone berserk
I cannot keep up
Treading on people's toes
Snot-nosed little punk
And I can't face the evening straight
You can't offer me escape
Houses move and houses speak
If you take me there you'll get relief
Relief, relief, relief...
And if I'm gonna talk
I cannot keep up
Treading on people's toes
Snot-nosed little punk
And I can't face the evening straight
You can't offer me escape
Houses move and houses speak
If you take me there you'll get relief
Relief, relief, relief...
And if I'm gonna talk
I just wanna talk
Please don't interrupt
Just sit back and listen
'cause I can't face the evening straight
You can't offer me escape
Houses move and houses speak
If you take me there you'll get relief
relief, relief, relief, relief, relief...
It's too much
Too bright
Too powerful
Too much
Too bright
Too powerful
Too much
Too bright
Too powerful
Too much
Please don't interrupt
Just sit back and listen
'cause I can't face the evening straight
You can't offer me escape
Houses move and houses speak
If you take me there you'll get relief
relief, relief, relief, relief, relief...
It's too much
Too bright
Too powerful
Too much
Too bright
Too powerful
Too much
Too bright
Too powerful
Too much
The theme of this movie somehow reminded me of these works:
- Unwind by Neal Shusterman
- We Have Always Lived in The Castle by Shirley Jackson
Semua gambar diambil dari AsianWiki
Aku pernah diceritain film jepang yang serupa. Pas liat trailernya aku asumsikan kalau cerita sama film iyang ini sama. *langsung ke pojokan buat streaming*
ReplyDeleteWah. Selamat nonton rang. Tell me what you think afterwards! I personally think it's an interesting movie. Sick, but interesting nonetheless. Especially to be reviewed from psychological perspective.
DeleteAh, film ini! Setuju banget sama Mbak Vera, this is the sickest movie ever! Well-recommended lah pokoknya :3
ReplyDeleteHello Maya! I'm sure there's sicker movie out there which still needs to be found! LOL
DeleteTapi ya, untuk ukuran film sakit, saya lumayan menikmatinya. Baguslah kalau kamu juga suka, tapi gila-gilanya jangan ditiru ya, hehe.