Pada Hari di Mana Suhu Tubuh Tinggi Menyiksa, Imajinasi Merajalela

Unbelievable. Saya sakit.

Bukan, bukan berarti saya menganggap diri saya adalah Hercules/siapa deh yang nggak pernah sakit. Saya pernah sakit, sering malah. Dari yang ecek-ecek sampai yang agak berat sedikit (Alhamdulillah yang berat pisan mah belum, eh jangan ya Allah), dengan berbagai macam penyebab pula. Orangtua saya bilang ini gara-gara saya terlalu sering berkelana ke Nangornia, dari pagi sampai sore, padahal nggak ada jadwal SP. Suatu alasan yang saya curigai kebenarannya karena waktu hari-hari biasa pun saya kuliah di sana, pergi ke sana minimal lima hari dalam seminggu juga. Dan saya baik-baik saja tuh, Alhamdulillah. Jadi saya mengambil kesimpulan, bukan itu yang bikin saya sakit. Ah...tapi biarlah diagnosis itu jadi urusan dokter...

Tiga hari terakhir ini saya memang sering merasa pusing. Keseimbangan saya yang biasanya payah, jadi makin oleng. Satu jam setengah di Damri jadi terasa menyiksa. Tapi saya nggak peduli, saya bilang, itu bukan apa-apa. Jadi saya nggak mengambil tindakan apa pun. Istilah kerennya, delay.Ternyata kemarin malam sakit saya itu memuncak jadi dingin yang menggigilkan dan pusing yang melumpuhkan. Bombastis tapi benar.

Ah, saya merasa cengeng dan lemah. Kenapa tepar, Vera? Padahal kerjaan lagi padat-padatnya. Ada tanggung jawab jadi koor divisi Oval (Observasi dan Evaluasi, dulu OFE) di PMB, ada lomba yang harus diikuti, training di weekend yang kayaknya bakal nyesel kalau dilewatkan, juga artikel, tugas, dan karya tulis yang menunggu digarap. Dan saya malah di rumah, dibungkus dua lapis selimut dan pakaian hangat, mengangkat kepala saja pusing, apalagi yang lain. Semua tugas dan tanggung jawab itu entah bagaimana deh selesainya.

Karena dinginnya minta ampun, saya jadi punya alasan untuk memakai jaket musim dingin (yang pas dibeli saya mikir, kapan ya bakal saya pakai di Indonesia?). Masih kurang, saya pakai syal juga, kaos kaki juga. Berhubung jaket yang saya pakai warna putih dan saya pakai tudung kepalanya juga, pas keluar kamar saya dikira penampakan kuntilanak sama nenek saya. Aduh pelis ya.
Saya pun bercermin. Apakah saya segitu miripnya sama kuntilanak? Tapi di cermin itu saya malah melihat sesuatu yang lain. Bukan, bukan kuntilanak. Saya melihat bayangan diri saya sendiri, pada suatu hari di musim dingin di masa depan. Di negeri impian saya, Jerman.

Saya dengan jaket wol tebal warna putih-krem, syal rajutan sendiri warna merah anggur, juga sarung tangan berwarna serupa. Saya sedang berdiri di trotoar yang bersalju, mendekap beberapa buku yang dipinjam dari perpustakaan setempat. Saya berjalan menuju sebuah rumah dengan cerobong asap yang mengepul. It's so vivid I almost believe it's true.

Tampilan dan imajinasi yang absurd ini menghibur saya. Hiks.

Di Jerman nanti juga mungkin lebih dingin daripada ini. Saya harus tahan! *mulai melantur.

Jadi ingat pada hari Selasa, saya ketemu sama Ridwan dan Cibon. Kita pergi ke perpustakaan Fakultas Psikologi waktu itu. Sementara kami sedang duduk di sofa dan melakukan hal-hal yang nggak begitu jelas (setidaknya saya sih nggak jelas, antara cari ide buat PKM dan mengerjakan tugas Psisos, akhirnya dua-duanya nggak ada yang bagus -__-). Tanpa sengaja kami mendengar bapak-ibu penjaga perpustakaan mengobrol (ya, bukan anak Psikologi kalau nggak kepo -___-) Mereka bicara tentang tata letak perpustakaan yang akan diubah, untuk mengakomodasi S2 Psikologi yang juga akan nyingkah ke Nangor.

W.H.A.T? *effect sound geledek

Kami pun langsung kasak-kusuk ngobrol tentang itu. Saya ngeluh, betapa walaupun nanti sudah S2, tetap aja mesti ke Nangor. Padahal S2 Psikologi yang sekarang deket banget sama rumah saya gitu loh, sambil ngesot juga sampai (tapi pantat sakit). Ah, Nangor, hubungan kita memang bittersweet...tapi kamu jauh banget gitu, males. Saya pengen kuliah di kota metropolitan...

Tiba-tiba Ridwan nanya, "emang kamu mau S2 di Bandung, Ver?"
Saya jawab otomatis, "Ya nggak sih, pengennya di Jerman..."

Effect sound geledek lagi. Ya. Saya ingat lagi kalau saya punya impian seumur hidup. Kuliah di Jerman. Nggak peduli S2 Unpad mau pindah ke Nangor atau ke mana...saya toh mau ke Jerman. Nyusul Ditta. Berenang di antara buku-buku di perpustakaannya yang cool itu (mendengar cerita Ditta tentang perpustakaan di sono, saya ngiler). Belajar yang bener. Mengunjungi laboratorium psikologi pertama di Leipzig (eh, masih ada kan). Foto-foto di gerbang Brandenburg. Membaca buku Goethe, Rilke, dan Karl May dalam bahasa aslinya. Pokoknya segala angan-angan indah yang sudah saya pupuk sejak SD...tampil kembali di mata saya gara-gara fragmen percakapan yang pendek itu.

"Emang kamu mau S2 di Bandung, Ver?"
"Ya nggak sih, pengennya  di Jerman..."

Terus pas saya buka e-mail, ternyata ada e-mail tentang beasiswa ke Jerman, dari Ridwan juga. Walau nggak bisa di-apply dalam waktu dekat (berhubung saya belum lulus), tapi...

Saya terharu... *nyusut ingus, ngusap air mata* Vielen Dank ya Ridwan...
Sepertinya kejadian itu juga berpengaruh pada munculnya imajinasi yang merajalela pada saat saya sakit ini. 

Di tengah sakit yang mendera dan rasa berat yang menekan pundak, menyenangkan sekali untuk diingatkan bahwa saya punya mimpi. Saya perlu mengejarnya, maka saya tidak bisa diam. Saya harus melangkah dan melangkah lagi... Jangan biarkan sakit cetek macam beginian menghambat jalan saya. Ha ha ha.


Ayo Vera, Fighting! Be that girl you always want to be...the girl who doesn't know how to give up.

*melantur sih, tapi asyik kan, lagi sakit begini tapi tetap semangat :D Ayo Vera BANGKIT demi kuliah di Jerman! Ha ha ha...

Comments

Popular posts from this blog

Der Erlkoenig (The Elf King), A Poem By Johann Wolfgang von Goethe

Day #1 : 10 Things That Makes Me Happy (PART 2)

Aishiteru - Kizuna (a.k.a. The Movie That Made Me Feel Like A Stone-Hearted Cyborg)