Apakah ini persinggahan?



Apakah ini persinggahan?

Kuputuskan tinggal di sini
biar tiap kali bisa memandang
bunga-bunga di taman yang kau rancang
Dan bunga-bunga di wajahmu,
kemekaran tak layu-layu,
bukankah itu menjauhkanku dari pilu?

Di rumah yang kau gambar
sukacita kutebar
sebuah masa kelak
dalam hingar bunga-bunga
kamu dan aku menyaksikan
anak-anak lahir, tumbuh, dewasa
lalu kita siap ditinggalkan
tapi tetap berdua
--sesuatu yang sudah sempurna sejak mula--
mereka adalah warna-warni
kesempurnaan tersendiri
dengan seluk-beluknya,
selalu begitu.

Dan aku
terus tinggal di sini
sampai akhirnya tenggelam
di matamu menyusupi tubuhmu
menguap menjelma rama-rama
setia menghinggapi bungamu

6-14 Agustus 1999
oleh Bagus Takwin

(Puisi di atas tetap bisa dinikmati tanpa membaca celotehan saya di bawah ini. Mohon jangan merasa terpaksa untuk melanjutkan membaca. You have been warned)
Ya, puisi indah di atas bukan karya saya. Puisi tersebut saya temukan terselip di deretan buku-buku almarhum kakek saya yang jarang saya jamah (berhubung itu buku-buku ekonomi, dan minat saya terhadap ekonomi minim sekali). Tepatnya, dalam sebuah buku tipis yang ternyata adalah souvenir pesta pernikahan di tahun 2005 silam.

Ini bukan pertama kali saya membacanya. Pertama kali saya membaca puisi itu adalah ketika saya masih kelas 3 SMP, masih remaja awal, mantan saya belum jadi mantan, dan sangat semangat membuat puisi buat pacar (sekarang mantan) tercinta saban dua hari sekali. Saya jatuh cinta pada puisi-puisi dalam buku tipis berwarna turquoise berjudul 'Cinta dan Keseharian' itu, terutama puisi di halaman pertama setelah prakata. Dan sekarang, tujuh tahun kemudian, kecintaan itu membuncah kembali. Saya jadi tersenyum dan teringat, "dulu saya menyukai puisi ini. Sekarang pun ternyata masih."

Saya bukan ahli perpuisian. Saya buta teknik, saya cuma suka puisi karena rasa. Karena rasa itu juga saya menyukai puisi ini...karena bahkan dalam usia saya yang masih muda pun (dulu 14 tahun --bocah banget-- dan sekarang 19) saya bisa memahami indahnya pernikahan yang ingin digambarkan oleh puisi ini. Saya bisa memekik terharu (dalam hati, tentu saja) begitu membaca betapa sang penulis puisi ingin tinggal bersama kekasihnya "biar tiap kali bisa memandang bunga-bunga di taman yang kau rancang". Memekik terharu lebih lantang lagi begitu sang penulis puisi membandingkan wajah kekasihnya dengan bunga yang tak layu-layu. Saya, dengan pengalaman cinta saya yang cuma segenggam, paham bahwa senyuman orang yang tercinta lebih indah daripada taman mana pun, lebih segar daripada kuncup bunga mana pun. Saya paham rasa itu, ketika menatap wajah bahagia orang-orang yang saya cintai (dalam pengertian sempit maupun luas), dan saya ingin hidup untuk melihat lebih banyak senyum semacam ini. Saya yang mengukirnya, kalau bisa.

Kehidupan rumah tangga tidak selalu gegap gempita, tentu saja, tapi sebuah pernikahan yang bahagia pasti dipengaruhi juga pandangan optimis orang-orang yang menjalaninya. Dengan demikian, apa pun yang terjadi, janji akan menebar sukacita dalam hingar bunga-bunga selalu jadi pegangan, seperti yang ditulis pada puisi di atas.

Saya memekik lagi pada bagian ini:
kamu dan aku menyaksikan
anak-anak lahir, tumbuh, dewasa
lalu kita siap ditinggalkan
tapi tetap berdua
--sesuatu yang sudah sempurna sejak mula--
mereka adalah warna-warni
kesempurnaan tersendiri
dengan seluk beluknya
selalu begitu.
Masa empty nest (ketika anak-anak sudah bekerja/menikah dan pindah dari rumah orang tua) adalah masa yang penuh melankolia buat para orang tua, dan buat saya puisi ini melukiskannya dengan manis sekali. Sebuah penghiburan (kita berdua sudah sempurna sejak mula) dan penerimaan (bahwa anak-anak bukanlah boneka-boneka yang harus dikunci di dalam rumah, melainkan individu mandiri yang sempurna sendiri-sendiri, seperti kodratnya) pada saat yang sama. Saat membaca bagian ini, saya membayangkan sepasang suami istri paruh baya berpegangan tangan, lalu saling memandang. Saling tersenyum. Dan saya memekik lagi.

Buat Kak Rani dan Kak Agus (kepada siapa puisi ini ditujukan. Dan saya sok kenal sok dekat banget deh nyebut 'kak'), selamat berbahagia hingga kapan pun ya. Makasih lho udah punya ide bikin buku puisi sebagai souvenir pernikahan, saya jadi pengen juga bikin buku puisi buat souvenir pernikahan saya (lho). Makasih juga untuk Pak Bagus Takwin atas puisi-puisi manisnya yang sudah bikin saya-14-tahun dan saya-19-tahun terharu dan pengen bikin puisi sendiri buat pernikahan saya nanti.

*pergi untuk bikin puisi buat calon suami*

Dan aku 
terus tinggal di sini
sampai akhirnya tenggelam
di matamu menyusupi tubuhmu
menguap menjelma rama-rama
setia menghinggapi bungamu.

Comments

  1. percayalah padaku dik, puisi itu lahir dari perasaan. bukan semata tekhnik.

    "puisi tidak ditulis untuk dianalisis. puisi bermakna untuk memberikan inspirasi tanpa nalar. menyentuh tanpa perlu pemahaman"
    (Nicholas Spark dalam "The Notebook")

    dan bukankan puisi ini telah menyentuh kita, tanpa kita ketahui benar alasannya. kenapa kita jadi begi muram. begitulah puisi bekerja. sebuah dunia yg tak pernah terjangkau dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. maka tetaplah kamu mencintai puisi dengan perasaanmu. esaimu ini jg cantik. teruslah menulis puisi dan esai2 sprti ini...

    ReplyDelete
  2. Terima kasih banyak, Kak (sekali lagi SKSD bener, nyebut 'Kak', hehe)

    Setiap dapat komentar dari Kakak, jadi makin semangat untuk nulis puisi, esai, apa pun itu bentuknya. Biar saya sering minder karena saya pikir ada ilmu khusus untuk lebih mendalami puisi dan menyentuh lebih banyak orang lagi, dan saya awam banget sama ilmu itu...hehe.

    Ya, tapi untuk menikmati puisi memang cuma butuh rasa, ya. Daya tariknya yang misterius dan wajah yang berbeda bagi tiap pembacanya itu tidak perlu diselami dengan teori kan?

    Terima kasih, sering-sering singgah :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Der Erlkoenig (The Elf King), A Poem By Johann Wolfgang von Goethe

Sentimental Hours

Day #1 : 10 Things That Makes Me Happy (PART 2)