Mengingatkan Ruh


Ruh,
masih ingatkah kau?

Pada lapangan di samping rel kereta
Pasar malam dan bianglala
Jalan aspal ke batas cakrawala
Sepetak sawah yang beda hijaunya, juga
hymne-hymne yang asing melodinya

Oh, mungkin kau juga ingat
pada peta dan ular tangga
Ucapan maaf dwibahasa
dan lompatan-lompatan tertahan di udara

Buah-buah jati
sore-sore kita tendangi
Debat tentang tube pasta gigi
serta mana yang lebih penting :
menyerupai atau melengkapi?

Kita membaca hingga tinta-tinta
resap ke darah. Mimpi-mimpi kecil yang kita bagi
diam-diam tumbuh tinggi. Serpih kata-katamu
merajut kemelut. Tempias gerimis membisik
tentang kerlap yang mungkin khayali
tapi goyah bukan pilihan, Ruh
goyah tak pernah jadi pilihan...

Ruh,
masih ingatkah kau?
Sebab aku kini
disesaki memori

Cigadung, 29 Mei 2012
Vera F. Maharani



P.s. Hei, kamu. Kamu sering bertanya, ada apa dengan ekspresi saya. Mengejutkan buat saya, kadang, karena saya pikir perasaan saya sudah tersembunyi dengan rapinya. Namun...yah, sejak dulu pun saya tak punya pokerface, tidak juga sekarang, mungkin tidak selamanya. Akting saya yang payah ini sudah membuka semua rahasia dengan suksesnya, ya?


Layaknya perempuan, saya meninggalkanmu untuk berteka-teki sendiri apa penyebabnya. Yah, itu juga kalau kamu mau dan sempat bertanya-tanya. Namun terima kasih, karena telah memberi saya harapan bahwa mungkin saja kamu benar-benar peduli (atau ekspresi saya benar-benar aneh sehingga kamu harus bertanya seperti itu, haha)

Comments

Popular posts from this blog

Der Erlkoenig (The Elf King), A Poem By Johann Wolfgang von Goethe

Sentimental Hours

Aishiteru - Kizuna (a.k.a. The Movie That Made Me Feel Like A Stone-Hearted Cyborg)