Panggil Pemiliknya

Seorang santri bertanya pada kiainya, "Sudah sepuluh tahun saya menuntut ilmu. Kini bolehkah saya pulang kampung untuk mengamalkan ilmu saya?"
"Memang sudah saatnya engkau pulang kampung," jawab kiai. "Tetapi, aku ingin tahu, berapa besar biaya yang kaubelanjakan selama belajar di sini?"
"Cukup untuk mendirikan dua buah rumah."
"Apakah di kampungmu ada setan?"
"Di mana-mana ada setan, Kiai," jawab si santri, menyangka gurunya sedang menguji.
"Jika setan menggoda engkau, apa usaha engkau untuk menolaknya?"
"Saya akan berusaha dengan berbagai upaya, lahir dan batin," ujar si santri, masih menganggap kiai tengah menguji ilmunya.
"Kalau setan tetap berkeras menggoda engkau, apa yang engkau lakukan?"
"Saya akan terus berusaha dan berusaha."
"Bila demikian, umur engkau habis hanya untuk melawan setan. Lalu, kapan kesempatan engkau beribadah pada Tuhan?" ucap kiai dengan telak, menyebabkan si santri terpacak diam. Kiai pun meneruskan, "Kalau engkau berjalan dengan seorang penggembala kambing, di dekatnya ada anjing galak yang siap menggigit kalian dari segala penjuruu, sedangkan yang engkau lakukan hanya berusaha menghalaunya, kapan engkau punya waktu untuk menyelamatkan diri?"
Si santri kebingungan dan bertanya, "Jadi, apa yang harus saya kerjakan, Kiai?"\
"Panggil pemilik anjing itu, jika perlu berteriaklah berkali-kali supaya dia mencegah anjingnya menyerang engkau."
(Disadur dari halaman 25 buku Hikmah Keprihatinan oleh Abdurrahman Arroisi, penerbit Remaja Rosdakarya, 1990) -- catatan sumber ini tidak ditulis dengan standar APA

Seperti jawaban santri dalam cerita di atas, sering kali itu yang kita lakukan. Berusaha dan berusaha, namun lupa meminta pada Yang Maha Memiliki.

Contoh mudah, para pencinta yang menginginkan selangkah lebih dekat dengan yang mereka cintai. Mereka menghabiskan banyak waktu untuk meneliti apa kesukaan sang objek kasih sayang, apa yang sedang dilakukannya, apa yang sedang dipikirkannya...bagaimana cara pendekatan yang baik, dan seterusnya. Kalau perlu, pendekatan juga dilancarkan pada saudaranya, orang tuanya, teman-temannya...tapi pendekatan yang paling penting malah sering terlupa.

Pendekatan pada Dia, Yang Maha Memiliki, Yang Maha Membolak-balikkan Hati, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Segala.

Mendekat, bukan hanya melalui doa semacam 'Ya Allah, jika dia jodohku, maka dekatkanlah kami. Jika dia bukan jodohku, maka jodohkanlah kami.' Tapi ini mendekat karena memang ingin mengenal-Nya. Memang ingin dicintai-Nya. Mengenai semua karunia-Nya setelah itu, anggap saja side-effect. Dia Yang Maha Pemurah, tak mungkin pelit dalam mengasihi orang-orang yang bersungguh-sungguh ingin mendekat pada-Nya.


Hari ini kusadari benar bahwa kedamaian letaknya bukan pada lagu, bukan pada kata-kata nan rancu. Kedamaian yang dicari itu dari-Nya, hanya dari-Nya.
Tapi kenapa masih saja aku mencari dari tempat yang kutahu salah?

Comments

Popular posts from this blog

Der Erlkoenig (The Elf King), A Poem By Johann Wolfgang von Goethe

Sentimental Hours

Day #1 : 10 Things That Makes Me Happy (PART 2)