Book for Breakfast : The Art of Racing in The Rain

The Art of Racing in the RainThe Art of Racing in the Rain by Garth Stein

My rating: 3 of 5 stars


Saya membeli buku ini pada sebuah sore yang diwarnai impulsivitas di sebuah toko buku impor bekas. Setelah sekitar satu jam menimbang-nimbang apakah akan membeli ini atau Love in The Time of Cholera karya Gabriel Garcia Marquez, saya akhirnya memilih membeli buku ini. Pertimbangannya, buku Garcia Marquez yang diloak itu ada lebih dari satu. Buku ini cuma satu. Belum tentu saya bertemu dia lagi pada kunjungan impulsif saya yang berikutnya. Selanjutnya, buku ini saya dapatkan edisi hard cover dengan kondisi cukup bagus, sementara buku Garcia Marquez cuma saya temukan versi paperback-nya. Akhir-akhir ini saya ngefans berlebihan pada buku hardcover, mereka nggak gampang rusak dan tampak bagus di rak buku, hahaha. Punten ya Mbah Garcia Marquez, mungkin lain kali.

Walaupun alasan utama pemilihan buku ini rada nggak penting, tapi sungguh saya tertarik. Sebuah cerita yang dituturkan dari sudut pandang anjing? Bukan ide yang sepenuhnya baru, tapi masih tidak biasa. Dan sinopsis buku ini menjanjikan sang anjing berfilosofi tentang hidup pula. Sungguh menggelitik.

Buku ini bercerita tentang Enzo, seekor anjing yang terobsesi untuk menjadi manusia pada kehidupan selanjutnya, dan keluarga pemiliknya, Dennis Swift. Dennis Swift (atau lebih akrab dipanggil dengan sebutan Denny) adalah seorang pembalap di Seattle. Sebagai anjing milik seorang pembalap, Enzo pun memiliki ketertarikan pada bidang yang sama dengan Denny : Balap Mobil. Enzo suka sekali menonton video mengenai balap mobil sambil mengaitkannya dengan filosofi kehidupan. Enzo juga suka sekali berperan sebagai anggota keluarga yang suportif bagi Denny serta istri dan anak perempuannya.

Kehidupan keluarga kecil yang damai itu diguncang oleh kematian Eve, istri Denny. Denny yang kariernya sebagai pembalap belum ajeg kini harus mengasuh Zoe, putri semata wayangnya, sendirian. Denny tidak keberatan dengan itu, namun mertuanya yang sejak awal kurang suka dengannya berkeras untuk mengambil alih hak asuh Zoe. Pada masa-masa berat ini, Enzo dengan setia mendampingi dan menuturkan kisah Denny, sambil memelihara harapan bahwa suatu hari nanti dia, Denny, dan Zoe dapat bersatu kembali sebagai satu keluarga.

Overall, this book is an interesting and enjoyable read. Cara Enzo bercerita membuat saya langsung memikirkan cerita ini sebagai sebuah film, dengan narasi Enzo yang terdengar seperti diisi oleh Tobey Maguire (I watch Cats and Dogs too many times as a child). Menarik sekali membaca bagaimana Enzo menjelaskan perilaku kehewanan-nya dengan alasan yang hampir manusiawi, lalu mengeluh, "gestures are all I have. I wish I have shorter tongue, I wish I can speak". Melalui mata Enzo, kita dapat melihat tokoh manusia di sini dengan cara yang berbeda. Denny, yang disebut-sebut Enzo dengan penuh kekaguman ("He's so brilliant. He shines..." begitu secara eksplisit Enzo menjabarkan pemiliknya). Eve, yang padanya Enzo merasakan badai cinta dan cemburu. Zoe, yang Enzo sudah bersumpah akan jaga sejak awal kelahirannya. Juga tokoh-tokoh lain seperti mertua dan teman-teman Denny, semua diceritakan dengan kesan pertama dan intuisi seekor anjing.

Then why do I give this book 3 stars instead of 5, or at least 4, because this book is soooo interesting and sooo enjoyable?

Pada awal-awal buku, di mana kita baru mengenal masing-masing tokoh dan kehidupannya, saya merasa terhanyut. Keuntungan menceritakan kisah ini lewat mata Enzo adalah kita bisa turut menyaksikan peristiwa-peristiwa pribadi yang tersembunyi dari mata tokoh lain. Dia kan anjing, nggak ada yang khawatir kalau dia ada di dalam ruangan sementara rokoh-tokoh antagonis sedang merancang rencana jahat, toh dia nggak akan bocorin pada orang lain.

Namun menuju akhir, banyak bagian cerita yang hilang (buat saya) karena Enzo tidak dapat hadir di sana. Misalnya (dan yang paling mencolok) adalah intrik persidangan Denny dalam usahanya mempertahankan Zoe. Ya mana bolehlah Enzo nyelonong masuk ruang sidang, ngedeprok di sebelah Denny sambil memperhatikan, mengaitkan jalannya sidang dengan filosofi balapan, dan sesekali menggonggong? Walaupun kayaknya menarik kalau itu bisa terjadi, let's face it, di ruang sidang anjing dilarang masuk.

Satu lagi...

Deus ex machina, deus ex machina everywhere. Walaupun saya turut bahagia karena rentetan deus ex machina itu membuat kondisi berat Denny sedikit lebih dapat tertanggungkan, rasanya jadi kurang menyentuh aja. Pada satu sisi, ini membuat kita yakin bahwa keajaiban itu ada dan bisa terjadi jika kita percaya, namun di sisi lain...saya rasa saya butuh lebih banyak terlibat dalam konflik emosi para tokoh, biar saya bisa lebih-lebih simpati lagi.

Namun buku ini tetap buku yang menarik. Jujur, sulit untuk menaruh buku ini ketika sudah mulai membaca. Sebagai (mantan) penonton setia F1 zaman Schumi masih membalap dan bersaing dengan Mika Hakkinen (dan nggak ngerti apa enaknya nonton F1 di sirkuit sementara mobil-mobil itu cuma melesat di depan kita dalam sepersekian detik), saya kagum bahwa banyak sekali dalam balapan yang bisa menjadi metafora kehidupan. Pokoknya buku ini bertaburan quotes bermakna seputar hidup dan balapan, ditingkahi celotehan ringan Enzo yang menyatukan dengan baik kebijaksanaan dan kekonyolan anjing.

Izinkanlah saya mengakhiri review ini dengan mengangkat gelas sampanye (berisi teh manis, hahaha), menyampaikan 'Bravo!' pada Garth Stein atas karyanya yang menyenangkan, dan mengucapkan satu baris kalimat favorit saya dalam buku ini:

"To live every day as if it had been stolen from death, that is how I would like to live. To feel the joy of life... To separate oneself from the burden, the angst, the anguish that we all encounter every day. To say I am alive, I am wonderful, I am. I am. That is something to aspire to."

Ciao!

Liebe Grusse,
Deine Vera
View all my reviews

Comments

Popular posts from this blog

Der Erlkoenig (The Elf King), A Poem By Johann Wolfgang von Goethe

Day #1 : 10 Things That Makes Me Happy (PART 2)

Aishiteru - Kizuna (a.k.a. The Movie That Made Me Feel Like A Stone-Hearted Cyborg)