Hidup dan Romantisme Persahabatan



Ada masanya saya merasa sahabat hanyalah romantisme yang mewah. Suatu kata yang menyenangkan dan puitis untuk disebut-sebut namun tak terjangkau dan kosong.

Bukan, bukannya saya menafikan keberadaan sahabat. Ya, mereka ada, dan mereka penting. Siapa yang akan saya hubungi pertama kali kalau saya mengalami kejadian yang menurut saya pantas diceritakan, baik senang maupun sedih? Sahabat. Siapa yang akan saya hubungi pertama kali kalau saya butuh bantuan, apa pun itu? Sahabat. Siapa yang akan rela menemani saya dalam kegiatan paling tak penting sekalipun? Sahabat. Boleh dibilang mereka telah sangat berkontribusi dalam keberhasilan saya bertahan dalam mekanisme seleksi alam. Boleh jadi, tanpa bantuan kecil di masa lalu yang mungkin bahkan tidak mereka sadari, saya sudah minggat dari dunia ini. Atau minimal melemah untuk kemudian tersapu ke kolong-kolong, tempat mereka yang terpinggirkan menunggu mati.

Terkadang saya pikir sahabat adalah jiwa-jiwa manis yang datang, singgah, kemudian pergi. Tertawa bersama, bersedih bersama, saling mendukung untuk suatu masa, lalu kemudian kehidupan akan mendorong kami ke persimpangan dan kami pun akan menempuh jalan yang berbeda. Entah itu karena cita-cita yang berbeda, atau ada orang-orang baru yang akan menyela. 

Kadang saya punya waktu untuk mempersiapkan diri untuk perpisahan tersebut, kadang-kadang tidak. Kadang saya dapat tersenyum sementara mereka melangkah pergi dari hidup saya, baik-baik dan perlahan. Kadang mereka tercerabut dari hidup saya, dan saya bahkan tidak dapat menoleh untuk menyaksikan punggung mereka menjauh. Saat saya bersama mereka, saya memiliki kesadaran penuh bahwa kami akan berpisah. Saat kami tertawa, saya menghitung waktu. Saat mereka mulai melakukan kegiatan yang tidak melibatkan saya, atau sebaliknya, saya bertanya-tanya, sudah seberapa dekatkah kami dengan waktu…itu?

Dan pada akhirnya kami akan kembali kepada kesendirian masing-masing. Menyerahkan diri untuk bertemu dengan orang-orang baru yang datang, singgah, lalu pergi. Datang, singgah, lalu pergi. Ya, mungkin ketakutan saya yang berlebihan pada perpisahan saja yang membuat saya berpikir seperti itu. Akan lebih baik jika saya tidak terlalu banyak berpikir mengenai perpisahan dengan sahabat-sahabat saya, dan memfokuskan diri pada apa yang sedang mereka lakukan pada hidup saya saat ini… 

Memangnya apa yang sedang mereka lakukan dengan hidup saya, para sahabat itu? 

Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknakan ‘sahabat’ salah satunya sebagai ‘yang menjadi pelengkap’. Orang-orang pada umumnya menjabarkan sahabat dengan cara yang cenderung ‘surgawi’ seperti ‘orang yang selalu mendukung, membantu, bersama-sama dalam suka dan duka’ atau semacamnya. Friedrich Nietzsche mengatakan bahwa sahabat tidak hanya mengandung komponen-komponen seperti cinta dan altruisme. ‘Sahabat’ membantu dalam pembentukan atribut-atribut Uebermensch dengan cara menemukan kesalahan yang ada pada satu sama lain, lalu saling menantang, dengan tujuan untuk memperbaiki dirinya dan sahabatnya. Posisi teman adalah untuk menjadi lawan saat seseorang tidak lagi bertujuan memperbaiki dirinya sendiri.

Sahabat-sahabat saya, dalam persinggahannya yang singkat dalam hidup saya, sedang membantu saya untuk menjadi lebih baik juga. Dalam perbincangan, kami bertukar cerita dan pengetahuan yang tidak mustahil akan saya butuhkan di masa depan, walau belum tahu untuk apa. Saat mereka membantu saya, mereka memberi tahu bahwa saya disayangi. Saat mereka berlari mencari bantuan saya, mereka memberi tahu bahwa saya berharga dan punya arti. Saat semangat saya jatuh, mereka mengingatkan saya akan mengapa saya perlu berjuang. Saat mereka duduk bersama saya, bahkan dalam diam mereka memberi tahu bahwa saya tidak perlu berkubang dalam pemikiran akan kesendirian, terlepas dari seperti apa pun saya meyakininya. Jika selama ini saya melihat hidup sebagai paradoks, keberadaan mereka membuat saya ingat bahwa saya tidak perlu berada dalam kebingungan yang konstan. Mengembara atau mengakar, mempertanyakan atau meyakini, berjuang atau tunduk… bersama sahabat-sahabat saya, saya tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sendiri.

Mereka menyumbangkan sesuatu, para sahabat itu, dan seharusnya saya bersyukur akan perpisahan pada akhirnya. Mereka, jiwa-jiwa yang manis itu, menggembleng saya kemudian pergi, mengizinkan saya menjadi diri sendiri. Mengizinkan saya mengendapkan arti interaksi dengan mereka lalu bergerak sesuai dengan pemikiran saya sendiri. Tidak terus menerus menempel dan mendikte saya harus begitu-begini. Bukankah itu jauh lebih baik?

Mereka ada, para sahabat itu, walau tidak bertahan selamanya secara ragawi. Mereka meninggalkan bekas. Memengaruhi hidup sedemikian rupa. Dan saya sungguh seharusnya bersyukur dan menikmati saja karena mereka sudi hinggap di hidup saya. Mengizinkan saya hinggap juga, memengaruhi hidup mereka dengan cara yang hanya mereka mengerti sendiri-sendiri. Saya cuma bisa berharap, semoga selama ini saya menemani dan mendorong mereka untuk berkembang lebih baik lagi.

Sementara menikmati sumbangsih sahabat-sahabat saya dalam kehidupan, saya juga seharusnya tidak terlalu cemas akan perpisahan. Bukankah Dieu reunit ceux tu qui s’aiment? Tuhan akan mempersatukan mereka yang saling mencintai, pada akhirnya, dalam surga-Nya yang abadi.

The friend should be the festival of the earth to you and an anticipation of the overman…
Thus Spoke Zarathustra, Friedrich Nietzsche, 1883



 Vera F. Maharani, 2012
seperti tertera dalam tugas akhir Mata Kuliah Analisis Eksistensial


Comments

Popular posts from this blog

Der Erlkoenig (The Elf King), A Poem By Johann Wolfgang von Goethe

Sentimental Hours

Aishiteru - Kizuna (a.k.a. The Movie That Made Me Feel Like A Stone-Hearted Cyborg)