Young Black Jack

It's Monday! For me, it also means OKADA MASAKI with big fat bold alphabets exactly like that, hahaha. Akhir-akhir ini saya sering (tergoda) menyebutnya Maa-kun, tapi kayaknya panggilan ini terlalu imut dan sok dekat, kata sepupu saya yang lebih fasih soal Jepang-Jepangan. Akhirnya saya bertanya pada teman saya yang saya anggap ngerti soal ini. Inilah tanggapan dia...
Teman yang namanya disamarkan (TYND) : "...jadi intinya kamu minta dijelasin soal Japanese honorific ini biar bisa milih mana yang paling cocok untuk manggil Okada Masaki."
Vera (V) : "Yep."
TYND : (mengangkat alis) "Oh. Really."
V : "Iya. Aku mau manggil Maa-kun tapi pas aku nge-LINE kakakku dan nyebut 'Maa-kun', kakakku langsung pasang stiker muntah. Sok imut, katanya. Lagian biasanya -kun itu dipake buat manggil anak cowok yang lebih muda, padahal Masaki kan tiga tahun lebih tua daripada aku."
TYND : "Maa-kun. Right." (diucapkan dengan nada sinis 'yaelah-yang-bener-aje-lo.')
V : (merasa perlu membela diri) "Iya, daripada pake -chan, kan itu lebih sok imut? Atau -san... nggak tau kenapa itu kesannya om-om banget."
TYND : (menatap dengan ekspresi yang sulit diartikan) "...There's a wikipedia page about it, you know"
V : "Oh." (ngerasa bego, kenapa nggak ngecek Wikipedia dulu. Buru-buru nyebut honorific lain, biar keliatan berpengetahuan rada luas) "Tapi...kalau Masaki-sama, lebay nggak sih? Atau Masaki-dono?
TYND : (menatap dengan ekspresi 'you-are kidding-me-right') "Vera, kamu keseringan baca novel samurai."
V : "Errr...kalo Ma-bo? Kayak Masaki adik Fujii Akihiro di Baby and I..."
TYND : "...Just check the wikipedia page, will you."
Okay. Sedikit pembelaan ya. Pertama, saya nggak keseringan baca novel samurai. Kalau keseringan main tokoh Samurai Warrior di Warriors Orochi, nah itu iya. Kedua, saya ngecek halaman Wikipedia yang membahas Japanese honorific kok akhirnya. Hasilnya? Heeeemmm...ya udah saya manggil Okada Masaki pakai nama normal aja lah, daripada saya kena semprot teman/sepupu saya kalau mereka baca, huahahaha.

Anyway, on to the movie of the week...

Young Black Jack


Film ini bisa ditonton di sini

Film ini dibuat berdasarkan manga Black Jack karya Tezuka Osamu. Semacam prekuel, mungkin, menceritakan awal mula Black Jack, hence the title 'Young Black Jack'. Saya belum pernah baca manga-nya sih, tapi menurut suatu komentar di laman mengenai film ini di Asianwiki, katanya ceritanya beda sama yang asli. Persisnya beda di mana aja, saya nggak ngerti juga, tapi kalau membandingkan info di laman wikipedia sama filmnya, memang banyak tokoh yang nggak jelas perannya di manga, haha. If you're interested, you can read the scanned version of the manga here 

(By the way, about this scanned manga, is it legal? Haha.)

Anywaaaay, on to the story.

Pada hari Natal, seorang ibu muda (Toda Naho) berjalan dengan gembira menuju Shiodome Mall. Dia mendapat surat dari putranya, Tokio (Hayashi Roi). Tokio ingin memberikan sesuatu pada ibunya di depan pohon natal. Namun belum sampai sang ibu ke pohon Natal itu, orang-orang berlarian menjauh dari mall. Dari siaran televisi, kita tahu bahwa telah ada ancaman peledakan bom dan semua orang dievakuasi dari mall. Sang ibu pun panik. Dia berlari melawan arus karena yakin putranya masih ada di dalam mall.

Benar saja, Tokio masih ada di dalam mall. Dia berencana memberikan setangkai mawar buat ibunya, tapi dia tidak punya cukup uang, jadi dia menggambar mawar sebagai gantinya. Dia bersembunyi di balik pohon Natal, sambil menunggu ibunya datang. Kemudian orang-orang berlarian keluar karena pengumuman ancaman peledakan mall, dan si nggak sensitif dan genre blind Tokio nggak penasaran sama sekali sama kenapa orang-orang pada lari. Dia malah penasaran sama sebuah bingkisan mencurigakan di bawah pohon natal dengan kartu Jack hitam di atasnya. What an excellent decision, kid.

Saat sang ibu berhasil mendekati pohon Natal, dia tertahan oleh pasukan kepolisian. Sang ibu yang kehilangan kemampuan bicara nggak bisa menjelaskan kenapa dia perlu masuk ke mall. Untunglah saat itu Tokio yang masih nggak sensitif dan genre blind keluar dari tempat persembunyiannya dengan wajah sumringah. Sang ibu pun menerobos barikade, Tokio pun menyongsong ibunya...and here we have a happy little family reunion.

Nope.

Bom meledak dari arah belakang mencederai ibu dan anak tersebut. Mereka berdua dibawa ke rumah sakit dan berada di bawah perawatan Dr. Honma Jotaro (Ichimura Masachika). Sang ibu tidak kelihatan luka-luka, namun mengalami trauma akibat benturan di kepala. Sementara itu, Tokio kehilangan separuh kaki dan tangan, serta luka bakar serius di wajah. Cedera mereka rada aneh, menurut saya, kalau melihat betapa dekatnya mereka dari pusat ledakan. But we're talking about a manga adaptation here so what do I expect, hahahahaha, silly pedantic me.


Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan sang ibu, tapi Dr. Honma dengan penuh determinasi ingin menyelamatkan Tokio. Tangan dan kaki palsu pun dipasangkan (dengan sangaaat rapi, tanpa terlalu banyak parut), namun tidak ada stok kulit yang cocok untuk memperbaiki luka di wajah Tokio. Dengan keajaiban alam, ketika para dokter membuka pintu ruang operasi untuk mencari donor kulit, mereka menemukan seorang anak kecil berkulit hitam yang ternyata donor kulit yang cocok buat Tokio. Siapakah anak kecil berkulit hitam itu? No idea. Buat saya ini misteri yang sama dengan menentukan jenis kelamin Andromeda Shun di Saint Seiya atau Tenoh Haruka di Sailor Moon. Di lanjutan film ini juga nggak jelas. Mungkin akan jelas kalau saya baca manga-nya, which I haven't, sooo, let's just continue.

Long story short, ini menjelaskan kenapa Tokio punya muka item sebelah dengan potongan a la Phantom of The Opera. Di kemudian hari anak ini akan dikenal jadi Hazama Kuro a.k.a. Black Jack (Okada Masaki); ganteng, moralitas dipertanyakan, calon dokter yang brilian walau kuliah di universitas ecek-ecek, sigap tanpa tanda-tanda sebelah tangan dan kakinya adalah prosthetic limb.

Kuro dewasa dengan mawar yang sepertinya jadi semacam recurring theme dalam film ini,

Sementara itu, Yasaka Yuna (Naka Riisa) adalah anak dari seorang dokter terkenal di Rumah Sakit Toukeidai yang elit. Berbeda dengan adiknya, Nagisa (Haru), yang ingin hidup lebih 'bebas' sebagai ilustrator buku anak-anak, Yuna adalah tipikal anak pertama yang bertanggung jawab. Dia menjalani pendidikan dokter sesuai ekspektasi keluarga dan menjalin hubungan dengan Dr. Kiryu Naoki (Ozawa Yukiyoshi) yang digadaing-gadang sebagai dokter bedah harapan Jepang. Sebenarnya, Yuna merasa hidupnya kosong dan hari-harinya sekadar formalitas.

Saat Yuna dalam perjalanan menuju kencan bersama Naoki, dia bertemu dengan seorang ibu yang tiba-tiba pingsan karena serangan jantung. Sadar bahwa kemungkinan ketika ambulans datang nyawa ibu tersebut sudah tidak tertolong, dia hendak melakukan CPR. Tiba-tiba dia disela oleh seorang laki-laki misterius (needless to say, it's our Hazama Kuro, but he's still mysterious for Yuna then) yang mencela Yuna karena tidak melakukan suatu prosedur sebelum CPR. "Are you even a doctor," kata Kuro, nyelekit, sambil tangannya tetap sigap melakukan prosedur pada ibu tersebut. Yuna terkesiap, dan pada akhirnya jadi tertarik (meskipun kayaknya belum secara romantis. Eh, nggak yakin juga sih apa mereka akan tertarik secara romantis) pada laki-laki itu. Kebetulan pada saat Yuna membantu laki-laki itu mengambil jarum suntik, dia lupa memasukkan kembali buku harian laki-laki itu ke dalam tasnya. Yuna pun membawa buku harian itu dan menjadikannya bahan kepo.

Pada hari ujian dokter, Yuna bertemu lagi dengan laki-laki misterius a.k.a. Kuro. Dia menemukan bahwa mereka berbeda kasta. Yuna adalah mahasiswa kedokteran universitas top, sementara Kuro berasal dari universitas tingkat debu di bawah keset. Meskipun begitu, Yuna tahu Kuro adalah dokter yang brilian sejak pertama melihat kerja Kuro (ditambah promosi agak lebay dari Tatsumi Katsuya [Kento Kaku], teman sekaligus supplier persediaan bahan farmasi Kuro). Yuna mengundang Kuro untuk datang ke pesta di rumahnya dengan modus ingin mengembalikan buku Kuro padahal kayaknya ingin mengenal Kuro lebih dekat tuh, ciyeeee.

Di pesta, beberapa hari kemudian, Yuna tidak bisa tenang memikirkan Kuro. Saat Kuro datang, kelihatan sekali Yuna lega. Kuro tetap dingin dan to the point, tapi Yuna bisa meyakinkan Kuro untuk berkenalan dengan ayahnya serta Naoki. Begitu tahu Kuro berasal dari universitas mana, ayah Yuna memandang sebelah mata aja nggak. Sementara itu, Naoki yang mengendus datangnya saingan cinta langsung menganggap itu adalah waktu yang tepat untuk memanggil semua tamu...dan melamar Yuna. Errr...lebih tepat disebut 'menyudutkan' daripada melamar sih. Muka Kuro saat menyaksikan itu semua antara bete dan 'apa-urusannya-sama-gue'. Sementara Yuna, walaupun kelihatan hati kecilnya nolak, hampir mengatakan "iya"...kalau saja Nagisa tidak tiba-tiba ambruk. Perhatian semua orang beralih ke Nagisa yang mengerang-erang memegangi perut. Seisi ruangan dokter semua, dan mereka panik menangani Nagisa, kecuali Kuro tentu saja. Masih dengan ekspresi stoic, dia membisikkan pada Yuna saran untuk mendiagnosis Nagisa.

Sampai sini, it's all drama and suspense and a little bit family sweetness. Kemudian cerita berfokus pada usaha keluarga Yasaka, terutama Yuna, untuk menyembuhkan Nagisa...dan pada titik ini saya harus mengingatkan diri saya, "Kalem sih Ver, ini adaptasi dari manga! Nggak usah banyak protes!"

Oke, oke, saya nggak protes, bahkan ketika satu demi satu peristiwa yang kemungkinannya satu banding sejuta terjadi di sini. Tapi saat ada suatu peristiwa tertentu yang membuat Kuro stress berat dan separuh rambutnya memutih dalam waktu kurang dari setengah menit, I just explode in laughter. Fantastical dye-job there, Kuro.

LOL DAT HAIR

Overall, film ini cukup menghibur. Mengingat spektrum cerita yang dirangkum sangat luas, saya bilang good job. Kalau kamu adalah mahasiswa kedokteran atau semacamnya, mungkin kamu akan teriak-teriak protes atau ketawa histeris, tapi selain itu, cukup bisa dinikmati. Iya, banyak hal yang nggak terjelaskan, misalnya identitas si anak berkulit hitam yang jadi donor kulit Kuro, atau bagaimana Kuro yang kere dan cuma masuk universitas ecek-ecek itu ngerti bahasa Jerman (bahkan buku hariannya ditulis dalam bahasa Jerman). Nggak ganggu sih, kecuali kamu pedantic kayak saya! Hahahaha. 

Yang menurut saya keren lagi adalah walaupun diadaptasi dari manga dengan segala keabsurdannya yang menghibur, film ini nggak lantas menjadi kehilangan substansi. Seperti yang kita tahu, dokter adalah profesi yang sangat terkait dengan altruisme, keinginan membantu orang lain tanpa pamrih. Dalam cerita ini, secara tersirat motivasi Kuro menjadi dokter disinggung pada pertemuan pertamanya dengan Dr. Honma setelah dewasa. Dr. Honma sangat senang Kuro memilih jalan dokter dan 'menyelamatkan orang', padahal sebenarnya yang ingin Kuro selamatkan...well, bukan semua orang  seperti kata Dr. Honma. Belum lagi kebanyakan yang Kuro selamatkan itu niatnya bukan tanpa pamrih. Sementara itu, di sisi lain, Naoki yang berasal dari kalangan 'elit' mengagungkan bahwa dokter adalah sosok yang omnipotent dan berbudi luhur. Namun keputusannya tetap dipengaruhi oleh rasa terancam oleh Kuro, baik dalam cinta Yuna, kepercayaan keluarga Yasaka, maupun reputasinya di dunia kedokteran. Dalam pikirannya, dia membela diri bahwa semua yang dia lakukan berdasarkan prinsip dan kode etik, namun dalam realisasinya...let's just say he's not the ideal doctor everyone seems to think.

"There's only two kind of doctors, Doctors who save people and doctors who kill people," kata Kuro. Nah, bagaimana kalau ada jenis dokter yang menyelamatkan orang, tapi dengan cara-cara yang bertolak belakang dengan kode etik? Ini bukan untuk diterapkan di dunia nyata sih, tapi menarik aja melihat kemasabodoan Kuro dibenturkan dengan ketaatan kaku Naoki serta dokter-dokter Toukeidai. Fleksibilitas diperlukan, tentu saja, tapi kapan harus fleksibel dan kapan tidak? Kapan memercayai insting dan kapan berpegang pada aturan-aturan baku? Interesting question that doesn't have one fixed answer

And here's one quote from Yuna that maybe is my favourite from the movie...

Indeed, Yuna-san

Comments

Popular posts from this blog

Der Erlkoenig (The Elf King), A Poem By Johann Wolfgang von Goethe

Sentimental Hours

Day #1 : 10 Things That Makes Me Happy (PART 2)